Original thread by @lalabohang
trauma lintas generasi itu nyata, cikal bakal dirimu sudah ada jauh sebelum ibumu lahir di dunia, di dalam tubuh nenek moyangmu dan nenek buyutmu. dan tidak adil menyalahkan generasi sebelumnya atas luka batin yang kamu miliki sekarang karena mereka juga mendapat sebagai warisan.
untuk memutus rantai trauma itu juga tidak mudah. perlu kesadaran, penerimaan, dan penyembuhan. sembuh bukan berarti tidak akan pernah kumat, karena emosi manusia memang lemah dan ringkih. setidaknya dengan berproses memutus rantai jadi punya pengetahuan atas luka batin tersebut.
cara kita berkomunikasi, membangun hidup, berpikir, merespon, mentolerir kebangkean orang lain, memilih pasangan, kerentanan emosi, dan memilih jalan hidup tidak datang dari ruang hampa, karena pengetahuan dan referensi itu juga diwariskan ke alam bawah sadar. sadari dan pilah.
yang menyebalkan adalah ketika kita berjalan otomatis berdasarkan warisan trauma, pendidikan orang tua, sekolah, dan doktrin masyarakat yang sudah ditanamkan sejak kecil padahal sebenarnya kita tidak setuju dan cocok dengan hal tersebut. tidak sadar membungkam rasa tidak nyaman.
yang bisa dilakukan adalah menelusuri generasi sebelumnya sejauh yang kita bisa. melihat karakter, cara hidup, dan referensi. jalan setapak yang sedang kita tempuh sekarang adalah jalan yang sudah dibentuk mereka dan kita melanjutkan. jalan setapak muncul karena pernah dilewati.
kalau misalnya mau belok atau bikin jalan setapak yang baru, sudah semestinya napak tilas ke belakang. jalan setapak sebelumnya dari mana dan bagaimana? menjadi pengetahuan personal sehingga bisa memilah mana yang perlu diperbaharui, mana yang sudah tidak relevan lagi sekarang.
kesadaran ini muncul sejak saya berproses menulis buku The Journey of Belonging. dengan sadar menyusuri garis keturunan ibu saya. ternyata ada pola dan kesalahan yang berulang. karakter yang diturunkan, kebangkean saya hari ini yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya.
dengan trauma, pengetahuan, dan referensi yang diturunkan itu saya menjalani hidup dan membuat banyak pilihan yang kemudian saya pertanyakan. jika generasi sebelum melakukannya ternyata kecenderungan untuk mengulangnya kembali lebih besar walaupun hal itu akan membawa kekacauan.
di luar trauma personal tersebut kita juga dibebankan dengan dua trauma yang menjadi pengalaman kolektif di Indonesia: era kolonial dan orde baru — dan bisa dibilang trauma di negara ini masih terus berlanjut sampai hari ini dalam skala, dinamika, dan frekuensi yang berbeda.
makanya banyak yang apatis atau kebas dengan kekacauan yang terjadi. karena kita “terbiasa” dan mewariskan alam bawah sadar: hidup di dalam kekacauan adalah hal yang biasa. berpusat pada diri, selama diri ini baik-baik saja. terbiasa hidup tidak bisa mengandalkan yang berwenang.
ingin sekali teman-teman punya kesempatan baca The Journey of Belonging, di mana saya tidak hanya sibuk bermasturbasi dengan khayalan dan imajinasi saya belaka. saya masih mengumpulkan pengetahuan dan berharap bisa reprogram kebangkean saya yang sudah berlapis-lapis dan berkerak.
sebagai penutup, saya akan membagikan tautan jika teman-teman mau membaca dan bergabung di perjalanan ini. dimulai dengan menyusuri kisah personal yang menuju sejarah kolektif, masa lalu yang membentuk diri kita hari ini di luar kesadaran. terima kasih!
https://bit.ly/334Cglt