Soal Persepsi Konsumen Cerdas atau Tidak

Original thread by @Okihita

7 juta itu buat hardware sama perakitan doang. 16 juta kepecah buat: – legal, garansi, dan pengembalian – perawatan/pengembangan sofwer/infrastruktur – depresiasi dan amortisasi aset/paten – biaya riset dan eksplorasi teknologi – marketing sama branding – profit yang sustainable
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076641353415544832

Harga iPhone XS Max terbaru adalah Rp 23 juta. Biaya produksi sebenarnya iPhone Max adalah Rp 7 juta. Selisih Rp 16 juta itu adalah kekuatan brand image. Brand image muncul krn kombinasi keahlian komunikasi iklan, kegoblokan konsumen dan manipulasi gengsi. (Thread)

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076641353415544832


Yang perlu kalian paham: Konsumen disebut “cerdas” bukan ketika dia “membeli barang yang paling murah”, tapi ketika dia “dapat memberikan justifikasi faktual dan menyeluruh atas pilihannya atas produk itu”. Hape saya LG G6. Alasan beli? Saya BLIИK dan LG G6 di-endorse BLΛƆKPIИK.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076641353415544832

Harga iPhone XS Max terbaru adalah Rp 23 juta. Biaya produksi sebenarnya iPhone Max adalah Rp 7 juta. Selisih Rp 16 juta itu adalah kekuatan brand image. Brand image muncul krn kombinasi keahlian komunikasi iklan, kegoblokan konsumen dan manipulasi gengsi. (Thread)

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076641353415544832


Mau beli “The Body Shop” yang mahal karena pengen menggunakan produk yang bahannya fair-trade dan menghindari animal-testing? Silakan. Beli kopi di kedai X yang penuh gimmick buat mengapresiasi dan ngebantuin usaha temen? Silakan. Beli Sbux biar bisa ngenet di gerainya? Silakan.


“Konsumen cerdas” itu konsumen yang paling efektif dan efisien menggunakan sumber daya (i.e. uang) untuk memenuhi tujuan—apa pun itu. Beli Tissot buat naikin gengsi dan status sosial, biar lebih gampang dapet gebetan? Silakan. Mau beli PS4 demi memuaskan rasa penasaran? Silakan.


Cerdas-enggaknya konsumen itu ditentukan dari “seberapa cepet dia menyesal atas pembeliannya”. Semakin cepet dia nyesel [ketika mendapat informasi baru tentang produk itu atau kompetitornya], berarti semakin sedikit variabel dan risiko yang dia pertimbangkan sebelum beli produk.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644889884909568

Brand image juga terjadi karena : – Faktor irasionalitas konsumen atau kegoblokan pembelinya. Mrka membeli atas dasar emosi (misal krn memburu prestise dan gengsi). Jadi bukan murni pertimbangan yg rasional.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644889884909568


Kamu bisa bikin kesimpulan “brand nggak penting” itu lho hasil sekolah bisnis di mana? Dalam “brand” ada “trust”, ada “reliability”. Tanya semua pebisnis, hal tersusah setelah “cari untung dari hasil dagang” (profitability) adalah “menjaga kepercayaan konsumen” (sustainability).
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076643153350803456

Premium value didapat karena kekuatan magis brand image. Brand image juga contoh intangible asset yg mahal. Aset ghoib yg nggilani. Sebab dg brand image yg top markotop, anda bisa pasang harga amat mahal dan malah laris.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076643153350803456


Di interaksi sosial jenis apa pun—termasuk transaksi barang dan jasa—orang itu mempertimbangkan “reliability”. Di titik konsumen kecewa [dan produsen nggak remediasi], konsumen akan berhenti bergantung produsen itu itu. “Brand” itu “jaminan mutu”, dan membangunnya nggak gampang.


Bisa bilang “best value mungkin Xiaomi” ini lho dasarnya apa? Se-menyeluruh apa pengamatan kamu? Xiaomi itu cepet panas (karena konduktornya aluminium bukan emas), mikrofon sama kameranya error mulu (karena update firmware dirilis terburu-buru dan nggak menuhin standar Android).
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076656827264192512

Kalau mau beli barang sebaiknya fokus pd best value. Jangan gengsi. Sebutannya best value for money. Kalau hp yg best value mungkin Xiaomi. Spek bagus. Harga oke. Kalau motor, ya Honda Vario. Bukan Ducati atau Royal Enfield. Kalau makan ya ke Warteg. Best value.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076656827264192512


Saya senior mobile-app engineer dan udah ngetes 100+ model hape dari berbagai merek, model, dan pabrik-rakitan buat menguji kestabilan, performa, dan keamanan berbagai app.

Baca Juga  Kumpulan E-book SKD Dan SKB, Materi Dan Soal Latihan Tes PPPK dan CPNS 2019-2020, hingga Prediksi Soal CPNS 2021
Yang dimonitor ya nggak seminim dan secetek “lebar layar”, “RAM”, “resolusi kamera”, sama “versi Android”.


Kamu nggak ngerti ‘kan beda baterai “Li-ion” sama “Li-polymer” dan ngaruhnya ke “lama sebuah app aman dijalankan di background sebelum di-autokill oleh Android karena membebani RAM”? Nggak tau ‘kan apa ngaruhnya “sensor kamera BSI vs CMOS” dalam “akurasi analisis teks foto KTP”?


Intinya kalau kamu bukan “power user” dan pakai ponsel cuma buat telepon, SMS, ngecek Wasap, sama ngepos hoaks di Fesbuk, memang Xiaomi itu lebih dari cukup. Cuma, kalo punya banyak kebutuhan mobile, termasuk ngambil foto dadakan dan main PUBG, Xiaomi itu termasuk “nggak layak”.


Asumsi dasar kamu dalam mengarang tret j̶u̶s̶t̶i̶f̶i̶k̶a̶s̶i̶ ̶k̶e̶m̶i̶s̶k̶i̶n̶a̶n̶ “ulasan barang premium” adalah ini: Seluruh komponen-harga barang di luar biaya-penyediaan-materi dan biaya-penggabungan-materi itu tidak terjustifikasi dan, karenanya, merupakan sebuah penipuan.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076643153350803456

Premium value didapat karena kekuatan magis brand image. Brand image juga contoh intangible asset yg mahal. Aset ghoib yg nggilani. Sebab dg brand image yg top markotop, anda bisa pasang harga amat mahal dan malah laris.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076643153350803456


Dear Admin, kamu itu, kalo diblender—terus hasil blenderannya dipisah berdasar unsur, hanyalah “35 liter air, 20 kilo karbon, dan beberapa unsur/senyawa lainnya”. Semua penyusun kamu bisa dibeli di apotek—harganya nggak nyampe sejuta. Apa artinya harga dirimu kurang dari sejuta?

Soal Persepsi Konsumen Cerdas atau Tidak


Bukan berarti harga kamu cuma sejuta ‘kan? Karena nilai barang/materi bukan cuma ditentukan oleh “apa aja unsur penyusunnya” dan “seberapa besar energi untuk mengikatnya”—tapi juga “bagaimana susunannya”, “bagaimana cara kerjanya”, dan “semampu apa dia memenuhi kebutuhan kita”.


Asal penjual dan pembeli sama-sama diuntungkan [karena kebutuhannya terpenuhi], beli apa pun silakan. Pertanyaan: Apa definisi “kebutuhan”? Jawabannya ya TERSERAH YANG BELI DASAR BANGKEEE LO AJA NGGAK BISA CARI DUIT KOK NYALAHIN ORANG EMANG SALAH BELI BARANG BUAT LUCU-LUCUAN HAH


Kita bisa debat puluhan jam dan bikin ratusan twit ngebahas “penentuan harga-wajar sebuah barang” dan “kenapa orang beli barang yang [kamu anggap] nggak penting”. Tapi bukan itu masalah utama kamu. Di twit ini jelas keliatan, masalah kamu adalah “sentimen negatif ke orang kaya”.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208

Brand image terjadi karena otak konsumen sukses di-brainwashed. Otaknya dicuci melalui iklan2 yg tonjolkan premium value. Sisi emosi konsumen diakali oleh para pemilik premium brands. Agar mrka rela beli produk yg mahal, meski aslinya murah. Dan banyak yg mau. Haha.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208


Intinya kita nggak sepakat atas “metode penentuan harga barang”. Kenapa ketidak-sepakatan ini muncul? Dari perbedaan jawaban kita atas pertanyaan ini: “Saat sebuah transaksi jual-beli terjadi, siapa yang untung?” Di mindset kamu: Cuma penjual [karena cuma dia yang dapet profit].


Karena kamu berpendapat “cuma penjual-lah yang dapat untung”, kamu menganggap “maka pembeli pasti rugi”. Selanjutnya, kamu bertanya “kenapa pembeli tetap melakukan transaksi kalau itu merugikan dirinya”? Kamu mentok di sini, terus lompat ke kesimpulan “karena pembelinya goblok”.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076647335000563712

Brand2 mahal itu cerdas dalam mengulik perlombaan gaya hidup para konsumennya. Branded products itu pandai dlm mengipasi nafsu berburu gengsi dari para pelanggannya. Karnaval gaya hidup yg mahal harus terus dirayakan dg sukacita.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076647335000563712


Ketidaksepakatan kedua adalah definisi tentang “harga”. Kamu mengasumsikan bahwa “sebuah barang punya harga ketika barang itu selesai diproduksi”. Jawaban kita akan berbeda untuk pertanyaan ini: “Berapakah harga barang-yang-tidak-laku?” Di pola pikir kamu, “harganya tetap sama”.

Baca Juga  Wallpaper Marvel yang Keren dan Lucu

Alasan utama kamu nge-goblok-goblokin orang lain—dan pilihan hidupnya—adalah karena kamu frustrasi. Penyebab utama frustrasi kamu adalah karena YANG SELAMA INI KAMU YAKINI TERNYATA NGGAK SESUAI DENGAN REALITA dan “orang lain goblok” adalah penjelasan yang bisa bikin kamu tenang.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208

Brand image terjadi karena otak konsumen sukses di-brainwashed. Otaknya dicuci melalui iklan2 yg tonjolkan premium value. Sisi emosi konsumen diakali oleh para pemilik premium brands. Agar mrka rela beli produk yg mahal, meski aslinya murah. Dan banyak yg mau. Haha.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208


Kamu ngira “hanya penjual yang diuntungkan dalam transaksi, sementara pembeli dirugikan”. Ini salah. Nyatanya, ketika transaksi terjadi, kedua pihak sama-sama merasa diuntungkan [lewat cara yang berbeda, sesuai subjektivitas dan kebutuhan masing-masing]. Buktinya? Tanya pembeli.


Kamu ngira “harga ditentukan secara-eksak-dan-mutlak tepat setelah barang diproduksi dan, jika ada penambahan harga, itu merupakan bentuk penipuan”. Ini salah. Sebuah barang baru punya harga ketika dia terjual. Barang-nggak-laku itu harganya Rp 0. Makanya ada konsep “jual rugi”.


Apa yang dipajang di olshop [beserta foto barang] itu bukan “harga”? BUKAN. Itu “permintaan harga”. Bisa dipenuhi, bisa enggak, bisa nego. Saat salah satu pihak menilai transaksinya tidak menguntungkan (“elah ngapain beli ginian” / “duh nawarnya afgan”), transaksi tidak terjadi.


Terlepas dari nominal harga yang diminta penjual, kalo kamu nggak mau beli ya artinya kamu bukan pangsa pasarnya. Kenapa? Karena kamu nggak butuh apa yang dia jual. Coba, kalo kamu dikasih uang semilyar, kamu bakal pakai buat apa—lalu sedalam apa kamu bisa menjelaskan alasannya?
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665

Kerelaan beli brand mahal itu jg terjadi krn pergaulan. Hati2. Misal ikut komunitas gowes. Malu kalo belum beli sepeda diatas Rp 15 juta. Ikut komunitas runner. Gengsi kalau gak pake Nike Ori. Kerja di kantor. Malu kalo henponnya merk Mito. Ojo koyo ngono Le…..

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665


Dasar pemikiran “belum pasti barang laku” ini juga salah satu komponen harga. Restoran masang harga menu lebih tinggi ketimbang “harga bahan pokok + jasa masak” karena ada risiko “bahan-baku busuk sebelum laku”. Lagipula, emang gimana cara menebak—atau membentuk—selera konsumen?


“Hukum Pertukaran Setara” [dalam konteks sosio-ekonomi] bilang: “Ketika transaksi jual-beli terjadi, kedua belah pihak menilai dirinya mendapat keuntungan [yang setara dengan pengorbanan mereka masing-masing], terlepas dari apa pun motivasi di balik penjualan dan pembelian itu.”


Dalam konteks barang premium, pembeli akan menilai dirinya untung, bahkan ketika motivasi belinya adalah: – “Aku mau menghargai dan mendukung riset dan inovasi.” bahkan – “Aku nggak tau lagi gimana caranya diterima di lingkungan sosialku kalo aku nggak punya/pakai barang ini.”


Yang jelas, di titik transaksi terjadi, pembeli merasa untung. Soal nantinya dia lebih teliti sebelum memutuskan beli barang X, itu ya beda lagi. Soal nantinya dia punya kesimpulan bahwa kelayakan-diri seseorang tidak seharusnya diukur dari materi yang dimiliki—itu ya beda lagi.


Lihat deh, 8 dari 10 twit kamu fokus merendahkan kredibilitas pengguna barang premium. “Mrka membeli atas dasar emosi (misal krn memburu prestise dan gengsi). Jadi bukan murni pertimbangan yg rasional.”? Laptop saya MacBook 40-jutaan; saya bisa ngasih alasan-rasional pemilihan.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644117562548227

Brand image yg mahal terjadi karena : – Produknya memang bagus. – Keahlian komunikasi iklan. Jadi apple, bmw atau LV bikin iklan yg menebarkan aura eksklusif dan elite. Yg beli diposisikan pasti orang tajir. Tajir mbahmu…. Wong belinya pake kredit…..

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644117562548227


– Basis UNIX (jadi bisa langsung SSH dan kompatibilitas dengan server tinggi); – resolusi layar tinggi (jadi bisa pake Spectacle buat multitasking dan produktivitas); – kalibrasi warna akurat (jadi bisa fine-tune desain UI); – sistem stabil (karena instalasi tiap app terisolasi).

Baca Juga  Bedah YouTube Channel Kimbab Family: Algoritma Dan Konten Kreatif

Kalo—buatmu—keuntungan dari sebuah barang lebih kecil ketimbang pengorbanan yang kamu kasih (i.e. harga moneter), ya barangnya jangan dibeli. Kamu loncat ke kesimpulan “barang premium dibeli atas dasar gengsi” itu soalnya kamu mikir “orang beli barang mahal pasti buat nyombong”.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644889884909568

Brand image juga terjadi karena : – Faktor irasionalitas konsumen atau kegoblokan pembelinya. Mrka membeli atas dasar emosi (misal krn memburu prestise dan gengsi). Jadi bukan murni pertimbangan yg rasional.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076644889884909568


Bilang “ojo koyo ngono, Le…” adalah usaha kamu untuk membuat pembaca melihat kamu sebagai “orang tua bijaksana”. Kamu ingin bikin personal brand bahwa (1) kesimpulan yang kamu kasih bisa dengan adil mencakup seluruh kemungkinan kasus, dan (2) semua orang harus nurut omonganmu.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665

Kerelaan beli brand mahal itu jg terjadi krn pergaulan. Hati2. Misal ikut komunitas gowes. Malu kalo belum beli sepeda diatas Rp 15 juta. Ikut komunitas runner. Gengsi kalau gak pake Nike Ori. Kerja di kantor. Malu kalo henponnya merk Mito. Ojo koyo ngono Le…..

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665


Gini lho, kamu itu mau sok-sokan anti-materialisme, tapi justru yang materialistis itu kamu. Kamu yang minder gara-gara nggak punya semua barang itu. Kalo kamu beneran nggak melihat kelayakan-diri seseorang dari materinya, kamu bakalan bodo amat orang mau punya apa dan beli apa.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208

Brand image terjadi karena otak konsumen sukses di-brainwashed. Otaknya dicuci melalui iklan2 yg tonjolkan premium value. Sisi emosi konsumen diakali oleh para pemilik premium brands. Agar mrka rela beli produk yg mahal, meski aslinya murah. Dan banyak yg mau. Haha.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076645672508510208


Minder-pas-miskin dan sombong-pas-kaya itu dua-sisi koin yang sama: Materialisme. Dua-duanya terjadi karena seseorang memandang kelayakan harga-diri dari kepemilikan materi. Mungkin temen-temenmu yang punya barang-barang itu nggak berniat sombong—kamunya sendiri aja yang minder.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076656827264192512

Kalau mau beli barang sebaiknya fokus pd best value. Jangan gengsi. Sebutannya best value for money. Kalau hp yg best value mungkin Xiaomi. Spek bagus. Harga oke. Kalau motor, ya Honda Vario. Bukan Ducati atau Royal Enfield. Kalau makan ya ke Warteg. Best value.

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076656827264192512


Namanya orang ya punya keinginan masing-masing. Apa hakmu menghalangi? Mau memburu apa pun ya terserah asal l̶u̶l̶u̶s̶ ̶u̶j̶i̶a̶n̶ ̶H̶u̶n̶t̶e̶r̶ dilakukan secara etis: (1) Kalo minta nggak berniat maksa, (2) kalo ngomong nggak berniat bohong, (3) kalo janji nggak berniat ingkar.
https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665

Kerelaan beli brand mahal itu jg terjadi krn pergaulan. Hati2. Misal ikut komunitas gowes. Malu kalo belum beli sepeda diatas Rp 15 juta. Ikut komunitas runner. Gengsi kalau gak pake Nike Ori. Kerja di kantor. Malu kalo henponnya merk Mito. Ojo koyo ngono Le…..

https://twitter.com/Strategi_Bisnis/status/1076648058463473665


Kamu itu lho goblok-goblokin orang soalnya kamu aslinya materialistis, tapi nggak punya hal material buat dibanggain. Di Ravenclawisme, seseorang berhak bangga ketika di hari itu dia berusaha yang terbaik untuk memperjuangkan identitas dan cita-cita—tanpa melihat hasil akhirnya.


Berbeda dengan kamu yang materialistis, di agama saya, Ravenclawisme, status sosial dinilai dari keteguhan niat, ketahanan banting, dan kerendahan hati. Sementara, kelayakan-diri seseorang itu dilihat dari kesadaran dan usahanya dalam menempuh Jalan Ninja demi mencari One Piece.
https://twitter.com/Okihita/status/970792928615456768

“Warisan cita-cita, takdir waktu, dan impian manusia merupakan hal yang tidak bisa dihentikan. Selagi manusia masih terus mencari makna kebebasan, mereka tidak akan pernah berhenti.” (“Raja Bajak Laut” Gol D. Roger)

https://twitter.com/Okihita/status/970792928615456768

Leave a Reply