Original thread by sp (@mrs_enci)
Kang Emil menjelaskan mengenai yang namanya Musrenbang. Musyawarah Perencanaan Pembangunan. Setiap tahun dilaksanakan. Asing di telinga kita? Itulah masalahnya.
Duh, musyawarah apaan Kang @ridwankamil. Orang mau ibadah natal di rumah aja mesti ribut dulu di medsos baru bisa kelakon. Bikin mesjid sampe mau ngegusur SD Negeri. Musyawarah yg dikangkangi orang2 yg punya birahi besar bangun mesjid di mana2? Di provinsi yg tidak kurang masjid?

— QRT https://twitter.com/itzdatime/status/1610409798545342464
Setiap tahun semua elemen masyarakat diundang. Bahkan yang ga diundang juga bisa datang kalau ga salah. Pernah lihat misalnya satu Musrenbang di mana salah satu lembaga lingkungan bicara banyak – tepatnya komplen banyak. Asing di telinga kita? Saya juga baru tau 2018 🙂
Proses ini juga didesain secara bottom up dan bertingkat. Mulai dari level desa, sampe level pusat.
Misal, banyak lembaga perempuan berjuang supaya di level desa perempuan bisa bersuara.
Sistem yg tampaknya ideal ini sayangnya memang kurang dikenal warganya sendiri.
Proses lain menangkap aspirasi masyarakat juga melalui anggota dewan di semua level. Makanya ada yang namanya reses dimana anggota dewan turba, diharapkan bertemu konstituen dan menyerap aspirasi mereka. Ideal kan? Hehehe. Dari reses ini kemudian dituangkan jadi ‘pokok pikiran’.
Dari pokok pikiran kemudian dituangkan jadi apa? Anggota dewan bisa mendorong anggaran, menambah atau mengurangi anggaran, bahkan punya slot khusus program kegiatan buat konstituennya mereka di dalam APBN/APBD sebagai besar dalam bentuk hibah. Ideal kan?
Ketika sebagian warga tidak tahu ada proses ini dan berpikir bahwa komplen di twitter bisa menyelesaikan masalah, itulah tidak idealnya :). Seperti ketika saya minta dukungan anggota dewan untuk transportasi, jawabnya, “Wah ga ada yg nanya. Bikin program lowongan kerja ajalah”.
Makanya saya mikir tampaknya memang ada miss match. How come soal transportasi publik yang heboh di twitter ga ada anggota dewan di Jabar merasa perlu? Selain bisa jadi mereka ga pernah pake?
Selama ini, rasanya semua yg meaningful didorong dari eksekutif. Isu demokrasi kita?
Soal mesjid, kenapa kok bangun mesjid di mana-mana? Entahlah. Saya menyadari bias saya yg kurang relijius di sini hahaha. Ga paham kenapa orang mau dateng jauh2 ziarah ke mesjid kubah emas, atau macet2an ke Gedebage. My left leaning liberal self menahan diri ga komen.
Makanya saya selalu berharap teman-teman yang punya concern di isu tertentu untuk melakukan advokasi, termasuk ke anggota dewan, harus coba kanal resmi yg disediakan. Suaranya harus didengar. Oh emang kurang kenceng di twitter? Emang mereka ada di twitter?
Pertanyaannya, termasuk yang dikomentari beberapa orang, ngapain repot? Iya sih ngapain repot ya? Kan itu mah tugas pemerintah? Apa memang kita mau terus siklus miss match begini dipertahankan?
Dulu jaman kang Emil di Bandung, beberapa model penyerapan aspirasi dengan gaya berbeda coba dilakukan. Misalnya dengan Ngabandungan. Kolaborasi dengan komunitas juga dilakukan banyak. Tapi ya memang tergantung kemauan yang membuka kanal aspirasi heuheu.
Makanya, karena saat ini saya lagi banyak menyimak perjuangan teman2 perempuan memperbaiki satu Perda, saya kagum dengan teman2 aktivis perempuan yg ulet sekali di semua level. Datangin dewan, diskusi. Minta rapat sama dinas, diskusi. Bisa lho dan dinas mau 🙂