Original thread by @lincaktravail
Biasakan membaca buku (atau jurnal, artikel, dsb) bkn agar terlihat keren, pintar, atau dianggap sama kawan sejawat sbg “in-group”, tapi membaca buku sekedar cara bagi kita utk memahami suatu isu & permasalahan dgn lebih baik. Curiosity adalah motivasi yg lebih baik daripada ego.
Salah satu caranya adalah lewat riset terlebih dahulu sebelum membeli buku: kenapa buku itu layak utk dibaca dari segi isu atau analisa? apa latar keilmuan/praktisi penulisnya? bgmn review dari ahli yg fokus di bidang buku tsb? menimbang opportunity cost, sbrp urgen utk dibaca?
Hampir semua buku yg saya beli/baca saya minimal sudah tahu bukunya soal apa, analisanya spt apa, dan seberapa relevan dgn kebutuhan saya. Biasanya lewat tulisan2 yg mengutip atau mengulas buku tsb, menjelaskan argumentasi2 atau empiriknya, atau dari diskusi dgn kawan2 lain.
Bahkan kalo pun beli buku secara impulsif, atau nemu buku yg cover-nya menarik di toko buku, saya selalu menyempatkan utk buka hp dan cari di google dulu: buku ini tentang apa? penulisnya siapa? bagaimana review bukunya? Kira2 analisa dan argumentasinya spt apa?
Menurut saya, literasi itu bukan cuma sekedar bisa baca buku atau bisa baca buku sebanyak2nya, tapi mampu memahami, mengkategorisasi, dan menganalisa isi & argumentasi buku yg telah kita baca. Dan lebih penting lagi: memahami kenapa kita memilih untuk membaca buku ABC dan bkn XYZ
Contoh: walaupun saya dikelilingi oleh temen2 yg “kritis”, “marxis”, “kiri”, dsb. Saya tdk pernah membaca tetralogi buru Pram, Madilog, Kapital, Foucault, Gramsci, Lenin, dsb. Saya lebih fokus membaca buku & kajian yg memang saya minati/butuh. Tiap org pny preferensi yg berbeda.
Bukan berarti buku2 tsb jelek/tdk layak dibaca. Saya kurang lebih tahu isi & gagasan2 dari buku2 tsb. Cuma karena kemampuan membaca saya jelek (terbatas waktu, perhatian, energi) jd prioritas bacaan saya milih2 mana yg lbh urgen, mana yg tdk. Karena saya tdk bisa membaca semuanya
Saya pernah berdiskusi dgn teman saya di penerbitan buku. Kalo misalnya dia menerbitkan dua buku dgn analisa yg bertolak-belakang, bagaimana respon dari pembaca? Apakah mengikut dgn buku mana yg diterbitkan belakangan? Atau bisa menganalisa & punya pijakan utk menilai sendiri?
Idealnya, bila literasi masyarakat cukup mumpuni, pembaca dpt menganalisa & menarik kesimpulannya sendiri. Mereka bisa berargumen kenapa buku A lbh baik utk memahami suatu isu atau persoalan drpd buku B, terlepas dari buku mana yg terbit duluan/belakangan. Jadi gak cuma mengikut.
Justru dengan spt ini wawasan dan diskursus publik bisa berkembang. Karena ada adu argumen publik bisa membaca, mengikuti, & menarik kesimpulan sendiri. Hal ini diperlukan bagi literasi publik karena bisa saling belajar & spy kita paham posisi yg kita ambil dlm suatu perdebatan.