Ketika Gus Dur Meminta Maaf Atas Pembantaian Massal 1965-1966

  • Post author:
  • Post category:News / Pengetahuan
  • Reading time:5 mins read
Original thread by Jaringan GUSDURian #TUNAS2022 (@GUSDURians)

Ketika Gus Dur Meminta Maaf atas Pembantaian Massal 1965-1966

Salah satu peristiwa kelam yang pernah ada di Indonesia adalah pembantaian terduga simpatisan PKI kurun 1965-1966. Luka itu sempat ditutup rapat, terutama oleh pemerintah Orde Baru. Pada 1995, Gus Dur membukanya.

Ketika Gus Dur Meminta Maaf Atas Pembantaian Massal 1965-1966

Meski demikian, perbincangan terkait isu tersebut masih sangat terbatas, bahkan pasca Orde Baru sekali pun. Padahal, kejatuhan Soeharto menandai era keterbukaan. Khusus kasus 1965-1966, isu ini masih dianggap sangat sensitif.


Dalam konteks dan derajat tertentu, upaya pengaburan fakta tentang pembantaian massal bahkan dijadikan komoditas politik. Wacana yang digulirkan Orde Baru selama tiga dasawarsa—bahwa pembantaian dilakukan atas inisiatif rakyat karena kebiadaban PKI di masa lalu—masih diteruskan


oleh kelompok-kelompok yang lazimnya mengklaim sebagai “anti-komunis”, “penjaga NKRI”, atau “Muslim anti-PKI” di masa kini.

Geoffrey B. Robinson memaparkan hasil penelitiannya. Robinson adalah guru besar sejarah di University of California at Los Angeles (UCLA), AS.


Selama bertahun-tahun ia menekuni studi tentang kekerasan politik, genosida, dan pelanggaran HAM di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Musim Menjagal merupakan riset terbarunya.


Robinson menyimpulkan, diskurus publik Indonesia tentang pembantaian massal 1965-1966 di era pasca-Soeharto ditandai dengan “satu langkah ke depan”. Tapi kemudian, dengan maraknya pembungkaman terhadap ekspresi keterbukaan peristiwa 1965, ia juga terseret dalam arus kemunduran.


Era kemajuan ditandai di masa pemerintahan Gus Dur.

Lima bulan setelah dilantik jadi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara sekaligus bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,


Gus Dur bikin kaget banyak orang. Peristiwa pembunuhan yang tenggelam selama lebih dari tiga dasawarsa di zaman Orde Baru dibuka kembali oleh seorang presiden. Sebelumnya, dalam pidato Hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember 1999, ia mengundang para eksil

Baca Juga  Sharing Pengalaman Mengenai Evakuasi Dalam Air

yang tak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S untuk datang kembali ke negeri mereka. Gus Dur juga memerintahkan para menterinya untuk memulihkan hak-hak mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan.


Langkah lebih berani dilakukannya dengan mewacanakan penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966. Isi keputusan ini adalah pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia.


Bagi Gus Dur, Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan langkah-langkah tersebut, seperti dinyatakan Robinson dalam buku ini, “[Gus Dur] secara terbuka menantang salah satu fondasi legal dan simbolis Orde Baru yang paling bertahan lama” (hlm. 374).


Sebelum jadi presiden, saat masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1995 silam, Gus Dur tak menampik jika ada warga NU terlibat pembantaian terduga simpatisan PKI.


Hal ini Gus Dur sampaikan di beberapa kesempatan terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan berbagai LSM (Lembaga Swadya Masyarakat) atau dengan sahabat-sahabat. Salah satunya dalam pertemuan, sambil makan malam, di restoran koperasi Indonesia di Paris.


“Kami semua terheran-heran bercampur kagum mendengar pernyataan Gus Dur bahwa di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa, dan bahwa tidak sedikit yang telah menjadi korban tindakan-tindakan orang-orang NU sendiri,” tulis wartawan senior


sekaligus aktivis Perancis kelahiran Indonesia, Ayik Umar Syaid.

Gus Dur juga pernah melontarkan permintaan maafnya pada 1999 saat bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, penulis besar yang pernah menjadi tahanan politik G30S.


Dalam pertemuan itu, Pram berujar, “kita ini sudah dekat kok tapi kok orang di luar masih ribut.”

“Ya sudah,” kata Gusdur, “Saya minta maaf dan kamu juga minta maaf.”

Baca Juga  Menyalahgunakan Wewenang, Terima Suap Dari Tes CASN?

Pram menjawab, “Kalau saya dengan Gus Dur enggak ada masalah. Tapi yang di luar itu perlu dijelaskan.”


Lalu Pram melanjutkan, “Apa komentar tadi tentang permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU atau bagaimana?”

Gus Dur menjawab, “Ya sudah, kalau enggak mau repot anggap saja itu sebagai komentar dari PBNU.”


Gus Dur adalah pejabat tinggi Indonesia pertama yang secara terbuka meminta maaf atas pembunuhan massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV. Sikap itu harus dibayar mahal oleh Gus Dur. Robinson menyimpulkan,


berdasarkan sejumlah informasi (sayangnya dia tak menyebut dari mana informasi yang dimaksud), “itulah yang menjadi salahsatu alasan mengapa dia [Gus Dur] dilengserkan dari jabatannya pada Juli 2001” (hlm. 390).


Dua belas tahun sesudah Gus Dur, Wali Kota Palu Rusdi Mastura melakukan hal serupa. Pada awal 2012, ia menyampaikan permohonan maaf kepada para korban kekerasan 1965-1966. Rusdi menyatakannya di hadapan publik dan berjanji akan memberikan program ganti rugi bagi para penyintas.


Meski Rusdi belum mendukung tuntutan hukum kepada orang-orang yang bertanggungjawab atas kekerasan, permintaan maafnya, menurut Robinson, menandai “pergeseran sikap publik mengenai peristiwa 1965-1966” (hlm. 375).


Pernyataan Gus Dur dan Rudi Mastura adalah dua contoh dari sedikit sekali ekspresi pejabat publik berkaitan dengan permintaan maaf atas pembantaian massal 1965-1966. Apa yang dilakukan Gus Dur dan Rusdi sebenarnya bisa dijadikan model bagi pejabat lain: Jika punya nyali.


Sumber:
Tirto:
https://tirto.id/solusi-tragedi-1965-langkah-maju-gus-dur-langkah-mundur-jokowi-dcz1

Tempo:
https://nasional.tempo.co/read/1513599/gus-dur-dan-permintaan-maaf-atas-pembantaian-1965

Leave a Reply