Original thread by Daniel Limantara 林志祥 (@LimantaraDaniel)
Sebagai seorang Tionghoa dari Medan, tinggal dekat PIK (Taman Palem) membuatku sadar mengapa orang Tionghoa di Indonesia, terutama yang dari Medan sangat susah berbaur dengan etnis lainnya.
{Sebuah Utas}

PIK (Pantai Indah Kapuk) memang tempat yang benar-benar unik, harus diakui itu. Desainnya sangat Minderwaardigheidscomplex. Berusaha membawa suasana luar negeri masuk ke Indonesia, membuktikan bahwa beberapa orang masih mengakui sadar atau tidak,
rancangan arsitektur luar negeri itu lebih baik daripada arsitektur lokal. Terdapat kompleks perumahan dan pertokoan dengan nama-nama asing, seperti Cordoba, Cortez, dll. Ada juga susunan perumahan dengan gaya Eropa meskipun dibangun di tempat tropis.

Tak perlu repot-repot ke luar negeri. Cukup datang ke PIK. Lebih bagus lagi kalau kamu membeli rumah di sana. Bayangkan sebuah sensasi luar biasa saat kamu keluar dari rumah, kamu serasa sedang berada di luar negeri. Pemikiran itu lah yang hendak ditanamkan oleh pengembang.
Terdapat juga sebuah pecinan dengan patung Dewi Kwan Im dan pagoda yang menjulang tinggi. Tentu saja hal tersebut dibangun untuk menarik perhatian etnis Tionghoa, etnis minoritas yang menguasai sebagian besar ekonomi Indonesia.
Lokasinya juga sangat terisolasi. Jauh dari stasiun kereta api. Stasiun kereta api terdekat adalah stasiun Rawa Buaya, Bojong Indah, dan Kalideres, yang jaraknya 10 km lebih. Namun terdapat rute bus Transjakarta yang terhubung hingga halte Balai Kota di Jakarta Pusat.
Sayangnya, armada bus ini sedikit. Interval kedatangan bus ini bisa mencapai satu jam. Selain itu, pemberhentian terakhir bus hanya sampai ke Pantai Maju. Untuk mencapai pulau lainnya, kawan-kawan harus melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi lain.
Lokasi PIK juga sangat tidak ramah dengan pemotor roda dua, moda kendaraan yang menjadi favorit kelas menengah ke bawah. Motor roda dua harus memutari Elang Laut untuk bisa sampai ke PIK. Untuk mobil, bisa melewati tol Kamal dengan mudah. Cukup lurus saja.
Lokasi terisolasi seperti ini yang kerap digemari oleh sebagian besar keturunan Tionghoa di Indonesia. Mengapa? Karena mereka memang enggan berbaur. Buat apa berbaur dengan etnis mayoritas yang bisa mengancam nyawa mereka saat terjadi krisis ekonomi? Demikian pemikiran itu.
Tidak bisa disalahkan juga. Terdapat banyak peristiwa kelam dalam Sejarah keturunan Tionghoa di Indonesia, mulai dari pembantaian kali Angke di zaman VOC hingga kerusuhan 1998. Trauma kolektif tersebut alih-alih diredam malah dipakai sebagai senjata pemasaran oleh pengembang.
“Ayo, beli rumah di PIK! Lokasinya sangat indah, ramah pemobil, dan jauh dari konsentrasi etnis yang bisa saja menjarah rumah Anda jika terjadi kerusuhan!”
Di abad ke-21 ini, rasisme tentu bukan lagi hal yang relevan. Teori ras Kaukasus, Mongoloid, dan Negroid bahkan sudah usang. Namun, kenyataannya, masih ada sisa-sisa pemikiran rasis yang dipertahankan.
Sayangnya, alih-alih membangun jembatan komunikasi antar etnis, limbah rasisme ini malah dipakai oleh pengembang sebagai senjata pemasaran yang ampuh.
Orang Tionghoa, terutama yang berasal dari Medan dan masih bisa berbicara dalam bahasa ibu mereka, tentu saja susah berbaur karena memang dimanjakan oleh para pengembang, yang berhasil memanfaatkan rasa takut mereka menjadi sumber penghasilan yang besar.
Pesan saya kepada kawan-kawan etnis Tionghoa dari Medan, jangan takut untuk berbaur. Mulai dari langkah terkecil terlebih dahulu, seperti naik transportasi umum. Lebih baik daripada terjebak macet sendirian di kendaraan pribadi.