[quads id=1]
Original thread by Widas ✨? (@WidasSatyo)
“Kalo gak viral, pasti gak akan diproses.”
Belakangan ini suka denger hal yg semacam ini. Beberapa orang menyebutnya Viral-Based Policy.
Sebenernya ini menunjukkan ada sistem monitoring internal organisasi yang gak berjalan dengan baik.
Maksudnya gimana?
Kita analogikan ke dalam case perusahaan.
Perusahaan punya sistem yg disebut dengan Quality Control atau Quality Assesment.
QC disini bertugas memastikan semua produk yg diproduksi perusahaan sudah memenuhi kriteria standar yg ada.
Kenapa sebuah produk perlu quality standard yg jelas?
Supaya kualitasnya tetep terjaga dan ndak berubah seiring waktu berjalan.
Itulah kenapa rasa indomie goreng yg Anda makan 10 tahun yg lalu dan hari ini rasanya tetap sama. Tetep khas dan enak.
Kualitasnya terjaga.
Menjaga kualitas penting untuk menghindari potensi komplain yg ada.
Bayangin suatu produk kalo kualitasnya gak terkontrol. Hari ini rasanya agak asin. Besok terlalu manis. Minggu depan rasanya malah hambar.
Begitu rasanya stabil, eh kemasannya jebol semua. Gak karuan.
Ketidakstabilan kualitas akan menimbulkan ketidakpuasan customer. Dan ketidakpuasan customer diekspresikan dalam bentuk komplain.
Padahal salah satu goal tiap perusahaan adalah menjaga kepuasan customer. Sehingga menangani komplain juga gak bisa sembarangan.
Perusahaan gak bisa asal keluar statement melakukan klarifikasi atas komplain customer. Biasanya divisi QC juga punya sistem sendiri dalam handling complain.
Misalnya dengan minta informasi produk itu lot atau batch numbernya berapa.
Setelah tau batch numbernya, tim QC melakukan tracing untuk mencari tau akar masalahnya dimana.
Pada proses handling kah? Pada proses produksi kah? Pada material bahan baku kah? Atau murni human error tim QC yg kelolosan melepas barang reject ke pasaran?
Ini dicari tau dulu.
Yang jelas tanggapan komplain customer ini memegang peran penting. Beberapa customer semakin loyal sama perusahaan kalo bisa manage komplain dengan baik. Artinya, keluhan mereka bener2 didengar.
Sebaliknya, kalo gagal manage komplain, mereka bisa ditinggalkan customernya.
Persoalannya saat ini adalah…. lembaga negara bukan perusahaan yg punya kompetitor.
Kalo lapor aksi kejahatan, ya ke polisi.
Kalo urus data kependudukan, ya ke dispendukcapil.
Kita gak punya opsi alternatif lain. Sehingga mau gak mau ya urusannya sama mereka.
Inilah yg menurutku jd salah satu trigger viral-based policy itu tadi. Keluhan kita bener2 didengar kalo udah viral. Kalo udah dapet sorotan publik.
Itupun belum tentu memberikan output yg memuaskan juga. Tapi tetep kita ga bisa berbuat banyak. Sebab kita ga punya opsi lain.
Menurutku, Revolusi Mental harusnya ya mulai dari sini. Reformasi pelayanan publik agar bisa jd lebih baik.
Gimana caranya sistem quality control internal mereka berjalan dengan baik TANPA harus nunggu viral dulu.
Butuh komitmen serius dari atas, mulai dari pusat sampe daerah.
Morning rants over…