Original thread by Auto Memory (@Okihita)
Pagi ini, asam lambung Kepala Kepolisian naik lagi. Belum habis keresahannya atas skandal pembunuhan bintara, kini ia perlu memberi tanggapan atas penggunaan alat pemusnah-massal ala Nazi.
Ia masuk ke ruang pribadinya yang remang dan kedap suara—berteriak, “ANAK BUAH GUOBLOOOK!”
Sesudah menghirup sedikit bubuk penenang agar amarahnya mereda, ia merapikan bajunya dan membasuh mukanya. “Apa yang perlu diucapkan di depan wartawan?” pikirnya.
Beberapa jam kemudian, di depan kamera dan lampu sorot, ia berbicara tenang, “Semuanya sudah sesuai prosedur-tetap.”
Begitu kembali di ruang kerjanya, ia meminta ajudan untuk memberinya ruang sendirian. Lalu, lewat ponsel anti-sadap, ia menelepon rekannya dari industri persenjataan.
“Moshi-moshi,” suara dari seberang jaringan terdengar, “Iya gue denger beritanya. SAR-2 kaliber 38 mm. Standar.”
Mendapat informasi yang dibutuhkan, ia menutup teleponnya. Segera, ia menderingkan ponsel penyelenggara, dengan satu fokus: mitigasi risiko—menjaga citra publik kedua institusi.
“Bos,” suara penyelenggara terdengar berat sekaligus lesu, “Kita cuma bisa kambinghitamkan suporter.”
Sementara itu, di salah satu kafe rooftop kelas-atas, beberapa karyawan elite yang merangkap pengamat-sipil hanya tertawa sinis.
“Hahaha… Acara murahan, yang datang orang-orang murahan, dengan nyawa yang murah pula. Dalam semalam, kemiskinan berkurang, IQ rata-rata meningkat.”
“Makanya,” sela salah satu orang di kelompok itu, “Coba yang lain dong supaya berkelas. Tenis, misalnya.”
“Hahahaha,” mereka kembali tertawa bersama-sama. “Orang-orang lokal kelas rendahan perlu dilarang ikut nonton pertandingan, toh cuma bisa rusuh,” ujar transmigran Sukoharjo.
Sejak tadi malam, di salah satu rumah sederhana di kaki Gunung Welirang, seorang ibu paruh baya tidak henti-hentinya menangis.
Dia menangis hingga pingsan, ditenangkan, didoakan, dan dikipasi oleh kumpulan tetangga yang melayat di rumahnya, kemudian menangis lagi hingga pingsan.
Kedua anaknya mati di insiden kemarin malam. Ketika terbangun dari pingsan untuk kesekian kalinya, dia menjerit-jerit histeris melihat kedua anaknya dibalut kain putih, terbujur kaku di atas tikar ruang tamu.
Ia memekik kencang, “Presiden! Tutup! Tutup semuaaa! Jangan ada lagi!”
Namun benang takdir membagi adil derita. Kali ini seorang anak semata-wayang sebelas-tahun pun kehilangan kedua orang tuanya.
Mulai sekarang, ia akan diasuh oleh pamannya. Kini yang tersisa dari ayah-ibunya hanyalah jenazah yang akan dikebumikan dalam satu liang lahat yang sama.
Ungkapan dukacita dan seruan kecewa berdatangan dari pengamat mancanegara. “Skors seluruh kegiatan selama delapan tahun!” teriak otoritas sekaligus federasi internasional.
Ketua federasi lokal tidak senang dengan berita itu. Pasalnya, tahun depan, ada jadwal pertandingan global.
Grup-grup media sosial dibanjiri notifikasi. Ratusan orang berusaha mencari informasi tentang keluarga dan teman yang belum pulang.
Seluruh kota dipenuhi suasana kepanikan dan kekhawatiran. Kemarahan dan kesedihan. Berbagai kubu saling melempar tanggung jawab demi menjaga citra.
Beberapa pengamat—yang sudah teruji di ITB dan IPB—memberikan tanggapan teknis mereka,
“Saya rasa penyebabnya jelas. Sense-of-physics dari para anggota pasukan huru-hara memang rendah, sehingga mereka tidak bisa menebak dengan akurat kira-kira kartrid gas akan mendarat di mana.”

“Betul itu,” komentar pengamat lainnya, “Kesalahan terbesar tentunya adalah menembakkan kartrid ke arah tribun, sehingga menimbulkan kepanikan massal. Harusnya hanya ditembakkan ke area lapangan. Dalam Hanjar PHH (Bahan Ajar Pasukan Anti-huru-hara —red) sudah tertulis teknisnya.”
“Tidak begitu faktanya, Mas Sukardi,” seorang pengamat lain menunjukkan gambar di ponselnya kepada koleganya yang ingin membela pihak polisi itu.
Dalam gambar terlihat seorang prajurit polisi—entah tamtama atau bintara—yang jelas-jelas membidikkan pelontar-granat ke arah tribun.
Di ruangan markas Kepolisian Resor, terlihat Kapolres mengumpulkan para prajurit yang diturunkan untuk menjaga stadion.
Urat kepalanya terlihat jelas, menunjukkan amarah yang tidak terbendung. Tangannya merah, bekas mendaratkan ratusan tamparan kepada anak-buah yang tidak becus.
Keringat dinginnya mengucur, seiring dengan aliran darah yang makin kencang dan panas. Dia hampir pasti akan dimutasi ke daerah pedalaman, dikorbankan sebagai salah satu kambing hitam.
Dia tahu, selama seminggu ke depan dia sama sekali tidak akan menyentuh kasur, maupun ranjang.
Tanpa terlihat oleh Kapolres, setidaknya lima orang dari para prajurit yang ditampar berulang-ulang itu menyunggingkan senyum tipis.
Mereka yakin mereka adalah martir—pahlawan bagi kelompoknya. Sebelum mereka petugas huru-hara, mereka adalah pendukung garis keras dari tim lawan.
Ya, kartrid-kartrid yang mereka lontarkan ke arah kursi penonton bukan kelalaian, maupun ketidaksengajaan. Semuanya adalah tindakan yang diperhitungkan, sekaligus kesempatan yang ditunggu.
Itulah tindakan paling ekstrem yang pernah mereka lakukan: menumbangkan basis-massa rival.
Tragedi kali ini adalah rekayasa. Wujud dendam kesumat kepada musuh bebuyutan, yang dimulai dengan infiltrasi beberapa buaya-hijau bermodal-nekat ke dalam tubuh kepolisian.
Masih berpura kesakitan, terbersit dalam hati mereka, “Tugasku selesai. Hidupku sempurna. Aku moksa, Rek.”
(Pesan moral cerita, bagi yang belum dapat satirnya: Petugas yang dipersenjatai, selain perlu dilatih keterampilannya, perlu diperiksa kejiwaannya secara berkala.
Walau ada komando, tetap mungkin individunya punya gangguan-jiwa, sehingga sengaja melanggar arahan yang diberikan.)
(Orang yang menganggap dirinya pahlawan dengan melukai orang-orang yang tidak-bersalah itu jelas-jelas punya gangguan jiwa.
Mirip dengan beberapa kasus ketika para petugas memukul atau membanting demonstran—bukan demi mengamankan kondisi, tapi karena memang suka memukuli orang.)
(Motivasi di balik “gangguan jiwa individu” ini bisa bermacam-macam. Bisa ketidaksukaan terhadap etnis, yang kadang terjadi ketika ditugaskan untuk mengamankan keadaan di daerah lain. Bisa kecemburuan sosial, misalnya memang punya keinginan-pribadi untuk memukuli para mahasiswa.)