Cerita Inspirasi Mengenai Pendidikan Dari Seorang Ayah

  • Post author:
  • Post category:Cerita Inspirasi
  • Reading time:5 mins read
Original thread by Taufik Damas (@TaufikDamas)

Ayah

Aku tidak betah tinggal di rumah. Ayahku selalu marah padaku. Jika lampu kamarku menyala dan aku tidak di kamar, ia marah. Pemborosan listrik, katanya.

Jika keran di kamar mandi tidak tertutup rapat hingga air masih keluar, ia marah padaku. Pemborosan air, katanya.


Ayahku selalu mengkritik aku. Bahkan ketika ia sedang sakit, ia selalu mengucapkan kalimat-kalimat negatif kepadaku baik karena hal besar atau sepele.

Suatu hari aku menerima surat panggilan dari perusahaan besar yang pernah aku kirimkan surat lamaran kerja. Aku merasa senang.


Aku berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan jabatan yang lumayan tinggi. Dalam hati aku berkata, jika aku diterima kerja, maka aku akan ngontrak rumah dan meninggalkan rumah ini, agar aku tak mendengar lagi ocehan ayahku.


Aku bangun sangat pagi. Mandi kemudian mengenakan baju terbaik dan minyak wangi. Segera aku keluar menuju perusahaan yang memanggilku. Sebelum aku membuka pintu, ayahku memegang pundakku dari belakang dengan wajah yang lemah: matanya sayu karena ia sedang sakit.


Sambil tersenyum ia memberi uang kepadaku. Ia berpesan bahwa aku harus selalu berpikir positif, harus percaya diri, dan jangan grogi menghadapi pertanyaan yang akan dilontarkan oleh HRD di perusahaan itu.


Aku hanya tersenyum dan berpikir bahwa ayahku masih saja menasehati aku. Seolah ia ingin merusak mood-ku saat momen aku sedang bahagia.

Aku segera keluar rumah. Aku menghentikan taksi kemudian naik dan berangkat menuju alamat perusahaan.


Sampai di perusahaan itu, aku sangat terkejut. Tidak ada satpam dan tidak ada pegawai yang menerima tamu. Yang ada hanya stiker-stiker petunjuk ke ruang HRD.

Baca Juga  Cerita Melalui Proses Interview Di Beberapa Tempat Secara Bersamaan

Aku masuk mengikuti petunjuk di stiker itu. Ketika hendak masuk ruangan, aku lihat pintunya rusak. Engselnya sudah hampir lepas dan pintu sudah miring. Aku khawatir pintu itu akan menimpa orang lain. Aku langsung ingat pesan ayahku: kamu harus berpikir positif.


Aku mendorong pintu itu dan memperbaikinya sebisaku.
Setelah itu aku terus berjalan mengikuti petunjuk. Aku melewati taman berkolam. Kulihat air masih keluar dari keran hingga air di kolam itu luber. Aku ingat lagi ocehan ayahku soal pemborosan air. Aku tutup keran itu rapat2.


Aku melanjutkan perjalanan menuju ruang HRD sesuai petunjuk. Aku harus menaiki anak tangga, dan aku lihat beberapa lampu menyala padahal ini siang hari.

Terngiang olehku ocehan ayah soal pemborosan listrik. Segera aku mematikan lampu2 itu sambil terus menapaki anak tangga.


Sampai di atas, sebelum masuk ruang HRD, kulihat banyak pelamar yang antri. Mereka tampak necis. Sebagian mereka adalah lulusan universitas luar negeri. Aku jadi tidak percaya diri. Sulit rasanya aku diterima di perusahaan ini. Mereka pasti lebih pantas.


Aku mundur. Lebih baik aku pulang daripada mendengar ucapan HRD bahwa aku tidak diterima, sehalus apapun ucapan itu.

Ketika aku melangkah untuk keluar, tiba-tiba namaku dipanggil. Aku kaget, tapi segera aku masuk ruangan.


Dalam ruangan itu ada tiga orang. Semuanya tersenyum ramah menyambutku. Salah satu dari mereka malah berkata, “Kapan kamu mau mulai masuk kerja?”


Dahsyat, kataku dalam hati. Bagaimana mungkin aku bisa diterima di perusahaan ini. Aku berpikir mereka main-main dan akan mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh setelah ini. Aku langsung ingat pesan ayahku: jangan grogi menghadapi pertanyaan dari mereka.

Baca Juga  18 Films That Will Blow Your Brains

Dengan tegas aku jawab bahwa aku siap bekerja setelah benar-benar dinyatakan lolos dan diterima.

Mereka tersenyum dan mengatakan bahwa tidak ada tes. Tes sudah berjalan sejak tadi ketika aku masuk pintu gerbang perusahaan. Mereka melihat aku menutup keran.


Mereka melihat aku mematikan lampu-lampu yang menyala. Mereka melihatnya dari CCTV yang terpasang.

Mereka menyatakan bahwa berbagai pertanyaan dalam interview tidak akan bisa menemukan karakter manusia yang sesungguhnya. Karakter manusia dibuktikan dengan perbuatan.


“Anda sudah melakukan itu”, kata mereka.

Kami merancang ujian praktek dan anda satu-satunya pelamar yang lulus dalam praktek itu. Anda satu-satunya orang yang kami anggap berpikir positif dan serius untuk bergabung di perusahaan ini.


Saat itu, aku tidak melihat wajah siapapun. Aku tidak melihat perusahaan itu. Yang terlihat olehku hanya wajah AYAH.


Dialah pintu besar yang terlihat kasar tapi hatinya adalah kasih sayang dan kelembutan. Aku tercekat dan ingin sekali segera kembali ke rumah untuk bersimpuh di telapak kaki ayahku.


Sampai di depan rumah, kerabat dan tetangga sudah berkumpul dengan wajah duka. Aku langsung paham: aku terlambat.

Aku langsung rindu pada suara ayah. Aku langsung rindu pada ocehan ayah. Mengapa aku tak mampu melihat ketulusan ayah? Mengapa aku buta pada sosok ayah?


Pemberian tanpa meminta balasan.
Kasih-sayang tanpa batas.
Jawaban tanpa pertanyaan.
Nasihat tanpa permintaan.
Ayah…??❤️

Leave a Reply