Original thread by JeroPoint (@JeroPoint)
[BASE ON TRUE EVENT]
“Dulu, orang-orang taunya dia mati suri, padahal yg hidup lagi itu pocongnya! Awalnya gak ada yg tau, termasuk keluarganya yang tinggal serumah”-Narasumber
Bisa dibayangkan?
RUMAH POCONG SURA
-A Thread-
Di malam jumat
@bacahorror #bacahorror #threadhorror

Gambar ilustrasi di atas merupakan salah satu bagian inti dari cerita ini.
bagaimana bisa pocong-pocong itu bersujud pada satu pocong hitam?
Jangan lupa RT, markah atau tandai judul thread di atas agar tidak hilang atau terlewat update-annya.
Sebelum itu, bagi kalian yang belum membaca chapter sebelumnya, bisa baca dulu thread pertama Pocong Sura, di sini:
[A Thread]
-RUMAH POCONG SURA-
“Dulu, ada warga di sini meninggal, tapi hidup lagi. Orang-orang taunya dia mati suri, padahal yang hidup lagi itu pocongnya! Awalnya nggak ada yang tau, termasuk keluarganya yang tinggal serumah”–Narasumber
@bacahorror #bacahorror #threadhorror

— QRT https://twitter.com/JeroPoint/status/1542825735206817792
Thread ini adalah lanjutan sekaligus penuntasan dari thread Pocong Sura!
Sebentar lagi kita mulai threadnya.
Yukk malam jumat ngumpul di sini 🙂

Mari kita mulai,
– Masih Ada-
Ditengah sunyi malam, Rita terbangun ketika mendengar suara piano di ruang tengah melantunkan nada-nada yang tak asing ditelinganya. Dia melirik ke arah jam yang menggantung di dinding,
Pukul 00.00,
Jarum panjang dan pendek jam kompak berada di angka 12. Ditengoknya Iwan masih terlelap di sampingnya seraya tak terganggu sama sekali dengan suara dentingan piano tersebut.
“Siapa yang main piano malam-malam?”
Pikiran Rita terusik, terlebih batinnya, sebab lantunan piano itu merajut nada-nada yang amat dia kenali—lagu yang sering dimainkan oleh almarhum kakaknya, Sura.
“Pak Sarno? Mira?”
Dua nama tersebut terlintas di kepalanya, namun nuraninya menyebut satu nama lain,
“Mas Sura?”
Bulu roma Rita seketika meremang, logikanya sibuk bertaruh melawan rasa takut yang hinggap secara tiba-tiba. Dia beranjak dari kasur, memilih untuk mengajak kedua bola matanya memastikan secara langsung.
Kamar yang ditempati oleh Rita dan Iwan berada di sudut lantai satu, tepatnya berada di lorong kecil samping tangga.

Rita membuka pintu kamar, pandangannya tersita oleh pigura besar yang terpajang diujung lorong buntu yang mana menampilkan foto keluarga almarhum.
Getir mulai menguasai diri yang mana tanpa sadar membuat bahunya bergidik ngeri.
Denting piano itu semakin terdengar jelas dari lorong. Rita melangkah perlahan, matanya menyelisik mencuri pandang melalui sela-sela sempit partisi sekat tangga.
Nampak sosok pria dengan badan berisi yang sejatinya dia kenali—Pria itu tengah duduk memainkan piano yang letaknya memang membelakangi sudut pandang dari tempat Rita berdiri.

Kedua matanya terbelalak, logika dan batinnya semakin riuh memperdebatkan siapa sosok yang tengah bermain piano di hadapannya.
“Mira? Jelas bukan.
Pak Sarno? Juga bukan.
Mas Sura? Nggak mungkin!”
Rita merasakan darahnya mengalir cepat memberikan sensasi rasa merinding hebat, jantungnya berdetak lebih cepat, langkahnya mulai gemetar, dan napasnya terdengar menderu tak beraturan.
Namun logika Rita terus mendorong kedua kaki tetap melangkah guna menepis apa yang diyakini oleh batinnya.
Semakin dekat, semakin jelas pandangannya, semakin runtuh pula pertahanan logika Rita. Postur tubuh sosok pria yang kini berada tepat di hadapannya begitu mirip dengan almarhum Sura.
Kaki-kakinya kini mematung dan kedua mata Rita terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang ditangkap mata telanjangnya.
Jemari sosok itu menekan keras beberapa not piano secara bersamaan, kemudian permainan pianonya berhenti,
“Ngapain di sini?”

Jantungnya seraya menggelinding ke bawah begitu mendengar suara dari sosok itu, Rita tak mampu berkata-kata. Tubuhnya memaku gemetar, dia panik ketakutan.
“Rita? Ngapain di sini?” Sosok itu mengulang pertanyaannya.
Ingin rasanya dia berteriak keras memanggil siapa pun agar menyelamatkannya dari situasi mengerikan ini, namun apa daya, suaranya seolah tercekat di tenggorokan,
badannya mematung, jangankan untuk berlari, menggerakan kaki-kakinya saja dia tak mampu—Rita kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
Satu-satunya yang dapat dia lakukan ialah, menutup mata.
Rita tak mampu mengontrol tempo napasnya yang tersengal-sengal. Ketakutan dan rasa panik yang menguasainya menemui jalan buntu.
Tak lama berselang terasa angin berhembus singkat seraya menyapu daun-daun gugur.
Dalam debar yang riuh di dalam dadanya, Rita memberanikan diri membuka mata,
Sosok itu telah menghilang dari hadapannya, satu napas panjang ditarik kemudian dihembuskan mengusir sesak. Baru saja sekejap dia mendapat lega—
—Rita seketika terperanjat begitu berbalik badan, dia mendapati sosok pria tadi telah berbalut kain putih serupa pocong berwajah hitam gosong yang dipenuhi luka basah berdiri tepat satu jengkal di depan wajahnya!
“NGAPAIN RITA!”

Bersama suara berat yang membentak marah, Rita tersentak sadar dengan keringat yang membanjiri keningnya—dia mengalami mimpi buruk yang amat terasa nyata.
Rita melihat ke arah jam di dinding.
Pukul 00.00
Waktu yang sama seperti ketika dalam mimpinya tadi.

Imaji Rita merubah bentuk guling putih yang tergeletak di pangkal pahanya menjadi memiliki wajah mengerikan mendiang kakaknya.
Dia mengerjapkan mata, meski sudah menyadari bahwa yang dialaminya barusan hanya mimpi, namun tetap saja, sensasi merinding getir tak kunjung pudar, malah terasa kian menbekap membuat dirinya merasa tak tenang serta gelisah tanpa alasan.
“Pa, papa. Bangun!” Rita membangunkan iwan, kasar.
“Pa!”
“Apa sih?!” Kesal iwan.
“Bangun, kita cari surat-surat itu sekarang. Terus kita pulang.” Ujar Rita tergesah.
“Ma, kita baru sampai loh, ini juga masih tengah malam. Kan masih ada hari esok.” Tangkas Iwan.
“Ma—mama ada urusan besok pagi.” Jawab Rita terbata.
“Urusan apa?”
Pertanyaan Iwan tak digubris lagi oleh Rita yang telah beranjak dari kasur menuju ruang tengah.
Iwan yang dibangunkan secara kasar ditambah suara bising dari ruang tengah membuat dirinya tak lagi bisa melanjutkan tidur.
Sedangkan dari kamar yang terletak di bagian belakang rumah, Pak Sarno sedaritadi kesulitan mendapat lelap. Dia disergap rasa cemas tak berujung. Suara bising menggasak dari arah ruang tengah mengusik telinganya.
“Kenapa tengah malam?”
Pak Sarno, bangkit dari posisi baringnya. Dia melangkah ke ruang tengah untuk memeriksa. Dirinya terkesiap, nampak ruang tengah yang semula tertata menjadi berantakan dengan barang-barang lama yang berserakan di lantai.
Kegelisahan Rita membuat dirinya tergesa-gesa membongkar asal mengacak seluruh laci-laci, lemari, dan kabinet-kabinet penyimpanan di ruang tengah tanpa merapihkannya lagi ke posisi semula.
“Astagfirullah!”
Rita terperanjat melihat Pak Sarno yang berdiri memandangi seisi ruang tengah.
“Ngagetin aja sih pak!” Tangan Rita mengusap-usap dada menenangkan debar kejut jantungnya.
Meski pun begitu, kehadiran Pak Sarno membuat Rita merasa lebih lega, karena sedaritadi dia merasa merinding sendirian menggeledah ruangan yang cukup luas ini, ditambah, dia menemukan benda-benda lama milik almarhum kakaknya—
masih terngiang jelas menguasai isi kepalanya ingatan tentang rupa mengerikan pocong hitam alm Sura yang belum lama menganggunya di mimpi
“Ibu cari apa?” tanya Pak Sarno sembari memperhatikan seisi ruang bak kapal pecah.
“Apalagi? kan sudah saya kasih tau tadi, saya cari surat-surat rumah ini. Kalau bapak belum mau tidur, mending bapak bantu saya cari ya.” Pinta Rita.
Pak Sarno tak bergeming, dia berdiri kaku, bingung. Raut wajahnya menjelma menjadi cemas. Dirinya merasa, seperti di perhatikan dari berbagai arah—sesuatu yang buruk datang mengancam.
Pak Sarno menoleh pelan ke arah jendela yang menyorok ke gelapnya hamparan kebun teh. Beberapa saat hening, pria itu nampak getir,
“Maaf bu, saya nggak berani terlibat soal urusan keluarga ibu.” Jawab Pak Sarno dengan getar dan terbata.
Pak Iwan muncul dari kamar dengan wajah kusut. Ekspresi masam itu jelas tertuju pada Rita. Dia melontarkan protes berisi kekesalan pada sang istri karena telah mengganggu ketenangan tidurnya.
Namun Rita tak mau kalah, dia mengelak melakukan pembelaan meskipun semua yang keluar dari mulutnya hanya alibi belaka.
Mereka saling bertarik urat, berdebat. Pak Sarno yang berada ditengah suasana tak nyaman menjadi canggung.
Namun barus saja Pak Sarno memalingkan badan—seketika piringan hitam tua itu memutar suara Alm Sura menyanyikan satu lagu kesukaannya.
Dulu lagu itu terdengar sendu ditelinga, namun kini menjelma menjadi nada-nada magis yang mampu mengubah suasana seketika terasa mencekam.
Piringan hitam yang mendadak terputar sendiri itu mampu membungkam mulut Iwan dan Rita, derit besi yang beradu terdengar seperti ancaman peringatan yang menghentikan langkah Pak Sarno.
Semua pasang mata kini menoleh ke arah mesin piringan hitam tersebut bersama hening dan getir yang kini membekap mereka.
[Sound on – musik ilustrasi]
“AAAAKKKKK!!!!”
Mira menjerit keras dari kamar atas. Jeritan itu begitu keras dan melolong panjang seraya menahan sakit yang amat dalam.
Seluruh perhatian teralih, kekhawatiran membekap cepat membuat ketiga pasang kaki serentak bergegas menaiki anak-anak tangga menuju kamar tempat Mira beristirahat.
“Mira! Mira!” Pak Iwan mengetuk-ngetuk pintu kamar mira yang tertutup rapat, namun tak ada jawaban.
“Mira!”
“Pak buka pak, pintunya cepat.” Pak Sarno tak kalah cemas.
Sumbu pendek di tengah situasi panik, Pak Iwan mendorbrak paksa pintu kamar tersebut. Alangkah terkejutnya mereka, melihat tubuh mira mematung kaku di atas ranjang—
—wajahnya pucat pasi, bibir serta kuku-kukunya membiru, mulutnya menganga lebar menyuarakan sisa-sisa jeritan yang masih terdengar serak parau seperti sesuatu yang besar telah masuk melalui rongga mulut kemudian menyusup lewat tenggorokan hingga membuat Mira nampak tercekat.

Pandangan Mira kosong, bola matanya mengawang ke atas. Dia tengah kehilangan separuh kendali sadarnya.
“Mira!!!!”
“Ya Tuhan”
Rita menangis histeris, Pak Iwan pun terkesiap tak percaya melihat kondisi sang anak di hadapannya.
“Pak, Mira kenapa pak? Mira kenapa!” Iwan dan Rita menjadi kalut.
Pak Sarno tidak menjawab apa pun, kedua matanya menyapu sekeliling ruang seolah menyelidik sumber bahaya.
Tak lama, tubuh Mira kejang-kejang, bola mata hitamnya telah berbalik memutar ke dalam meninggalkan hanya bagian putih di kedua matanya.
Di tengah kejangnya, mulut Mira seketika menyeringai lebar, kemudian dia tertawa, namun suara tawa tersebut bisa dipastikan bukanlah Mira—
—suara serak parau dan berat tertawa semakin keras seperti puas atas apa yang terjadi. Ketakutan, Iwan dan Rita mundur setengah langkah, namun seketika tangan Rita ditarik dan dicengkram keras oleh Mira. Mata mengawang itu kini beralih tajam ke arah Rita,
Dirinya histeris ketakutan memohon ampun seraya tahu siapa dibalik tubuh Mira tersebut. Kepala Mira bergerak pelan ke kiri dan kanan, lalu dengan suara bisikan kuat, Mira mengucap,
“MA-TI!”

—Bersambung—
thread lanjut besok malam ya, buat yang mau langsung baca lengkapnya yang lebih rinci bisa download versi e-book (mini novel) bergambarnya di sini :
Chapter 1 : https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-1
Chapter 2 : https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-2

Versi E-book tentunya lebih rinci dan detail dari versi thread ya, thread ini merangkum keseluruhan cerita secara garis besar.
sampai besok malam gaes! awas guling-nya ketuker atau tiba-tiba jadi punya muka hehe
—LANJUT—
Cengkraman Mira di lengan Rita semakin kuat membuatnya berteriak mengerang kesakitan. Iwan sekuat tenaga membantu melepaskan cengkraman tersebut,
sedangkan Pak Sarno terkesiap, matanya terbelalak, namun dia hanya berdiri diam di posisinya menyaksikan peristiwa tersebut tanpa berbuat apa pun.
Tubuh Mira melemas, bersama dengan itu Rita berhasil melepaskan lengannya dari cengkraman kuat Mira. Nampak lengan Rita merah lebam seperti habis digencet benda berat.

“Itu bukan Mira” ucap singkat, Pak Sarno.
Kaliamat Pak Sarno barusan dibalas dengan tatapan sinis oleh Rita.
“Kita pulang sekarang” Tegas Iwan yang nampak cemas.
“Jangan pak, jangan sekarang, sebaiknya tunggu langit terang aja, bahaya” ujar Pak Sarno
“Apaan sih, ini masih malam, lagian kita juga belum dapat surat-surat itu! Jauh loh kita ke sini, masa pulang tangan kosong!” Timpal Rita.
“kamu ya!”
Iwan tampak marah, perdebatan mereka semakin tak terelakan—iwan tak terima dengan sikap Rita yang lebih mementingkan egonya dibanding keselematan sang anak yang tengah tak berdaya di ranjang.
“Aku pulang sama Mira, kalau kamu masih mau di sini, silahkan!” Emosi Iwan,
Dia mengangkat tubuh Mira, namun tak mampu.
Aneh, mendadak bobot badan Mira menjadi amat berat hingga tak mampu diangkat oleh Iwan. Beberapa kali dia mencoba lagi, namun masih tak berhasil.
“BELATUNG!”
Rita histeris melihat banyak belatung-belatung yang merayap keluar dari tubuh Mira. Semakin diperhatikan, belatung-belatuh itu semakin menyerbak hinggal menjalar ke isi ranjang dan jatuh ke lantai-lantai kamar—
Tubuh Mira bak bangkai mayat busuk yang dipenuhi belatung!

Sembari menangis mereka mundur beberapa langkah, kaki-kakinya refleks menghindari belatung-belatung yang kian menggeliat.
Aroma tak sedap seperti bau busuk sampah terendus entah dari mana.
“Pak, Bu, keluar kamar!” Teriak Pak Sarno.
Iwan menarik tangan Rita memaksanya keluar kamar. Pak Sarno menutup kamar Mira rapat kemudian menyusul Iwan dan Rita yang sudah lebih dulu turun ke ruang tengah.
“Kalau kita masih di dalam kamar, belatung-belatung itu nggak akan berhenti, semakin banyak.” Jelas Pak Sarno.
Rita menangis, begitu juga Iwan, mereka tak habis pikir mengenai apa yang terjadi pada Mira.
Pak Sarno merenung, sejatinya dia mengetahui apa yang terjadi, begitu pula dengan Rita yang memiliki dugaan yang sama.
Namun semua itu, di simpan oleh mereka, logika mereka sekuat tenaga menolak bahwa itu merupakan sebuah ketidakmungkinanan yang hanya berlandasan pada kekhawatiran belaka.
Suasana menjadi hening, senyap, hanya sisa isakan tangis Rita yang sesekali terdengar,
“saya shalat malam dulu” Pamit Pak Sarno
Pak Sarno melangkah limbung, pikirannya melayang jauh merakit satu per satu ingatan tentang kejadian buruk di masa lalu yang berkaitan dengan peristiwa malam ini.
Raut wajahnya amat cemas, usai berhasil merajut benang kusut dalam ingatannya, langkahnya terhenti, Pak Sarno terkesiap, kehilangan keseimbangan, dia nyaris roboh ke lantai jika tidak bertopang pada pilar kayu di dekatnya—
—Perlahan, mimpi buruk yang dikhawatirkan Pak Sarno menjelma menjadi kenyataan yang menakutkan.
Usai mengambil wudhu, di dalam kamar Pak Sarno membentangkan sajadah kemudian melakukan shalat malam.
Selama shalat, Pak Sarno merasa ada mata tajam yang memperhatikannya dari jarak dekat. Dia berupaya mempertahankan konsentrasi ibadahnya, tak bisa dipungkiri, bulu-bulu kuduknya seketika meremang.
Suasana begitu hening hingga Pak Sarno mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri berpacu dengan detik pada jam dinding.
Pada posisi ruku, Pak Sarno merasa ada sosok yang mengikuti gerakan shalatnya di belakang.
Dia bangun, sosok itu mengikuti. Lalu ketika sujud, dia merasakan ujung jemari kakinya menyentuh sesuatu bertekstur kain mirip—
Kuncup Pocong.

—-Bersambung—-
Thread lanjut besok ya,
buat kalian yang mau baca duluan bisa download versi e-book, di sini :
https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-2
atau ambil paket Full Chapter (5 E-book) di sini :
https://karyakarsa.com/jeropoint/rewards
sampai besok guys!
—-Lanjut—-
Getir seketika menyergap, namun Pak Sarno tetap melanjutkan shalatnya, akan tetapi ketika dia bangun melanjutkan rakaat selanjutnya,
kedua mata Pak Sarno terbelalak, tubuhnya gemetar ketika mendapati tepat di ujung sajadahnya berdiri sosok mengerikan yang dia kenali—
—pocong pak sura, berkulit hitam dengan penuh luka-luka basah dan bau busuk menyengat tak sedap. Pocong tersebut berdiri di hadapan Pak Sarno yang tengah Shalat.

Sekuat tenaga Pak Sarno mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Dia memejamkan mata kemudian tetap melanjutkan Shalat,
“Allahuakbar”
“Allahuakbar”
Sosok pocong Pak Sura mengikuti bacaan shalat Pak Sarno.
Bisa kalian bayangkan betapa lemasnya Pak Sarno kala itu? Namun meski pun disergap takut dan tubuh gemetar tak terkendali, Pak Sarno tetap melanjutkan shalatnya di hadapan pocong yang berdiri tepat di ujung sajadahnya.
Setelahnya, Pak Sarno menyadari, bahwa mereka telah ditunggu oleh petaka yang jauh lebih mengerikan.
-Mereka kembali-
Meski diselimuti getir, Sarno tetap menuntaskan shalat malam hingga mengucap kedua salam. Dia memberanikan diri membuka mata, napasnya terdengus kasar mengendalikan panik, kemudian menoleh ke kiri dan kanan—
—pandangannya menelisik ke sekitar memastikan sosok pocong yang tadi menemani shalatnya telah benar-benar tiada.
Usai mengatur tempo napas yang menderu, Sarno mengangkat kedua tangan melangitkan doa teruntuk nama yang saat ini bersemayam di kepalanya—Almarhum Sura.
Sedangkan di kamar atas, terlihat Mira terbaring tak berdaya. Jemarinya mulai bergerak, kedua mata yang sebelumnya terpejam kini perlahan membuka katup mata.
Mira merasakan sekujur tubuhnya serasa remuk habis dibanting, begitu pun dengan pening di kepala seraya melengkapi sensasi rasa sakit yang luar biasa. Dia terbangun limbung tanpa mengerti apa yang baru saja menimpanya.
“Aw—”
Refleks Mira mengerang mendeteksi rasa sakit di badan ketika hendak mencoba beranjak duduk. Suasana rumah begitu hening, kedua mata Mira tertuju pada lampu kamar yang menyala.
Dia merasa aneh, karena seingatnya sebelum tidur, dirinya sudah mematikan semua lampu kamar—Mira tidak bisa tidur dalam ruangan terang
Semakin memacu otak untuk berpikir, dia semakin merasa pusing bukan main serasa dihujam jarum tak kasat mata yang menusuk-nusuk kepalanya.
Sayup-sayup angin berhembus menerbangkan beberapa helaian rambut Mira, dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, terlihat langit masih gelap. Seketika mira tersentak, dirinya tersengat ingatan tentang kejadian yang dialaminya sebelum tidur—
—waktu itu, Mira sedang merebah bersiap untuk mengistirahatkan matanya, baru beberapa saat terpejam, terdengar suara jendela terbuka sendiri,
“Angin kencang”
Pikirnya, dengan santai dia melangkah ke arah jendela yang mengarah langsung ke hamparan kebun teh.
Mira melangkah pelan, begitu tiba di bibir jendela yang terbuka, dia memilih tidak langsung menutupnya, melainkan menikmati sejenak hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya.
Tak mau kalah, kedua matanya juga ikut menikmati pemandangan kebun teh kala malam, namun bola mata hitam itu terhenti pada satu objek—
—sebuah pohon besar yang berada di halaman rumah. Di bawah pohon tersebut, Mira melihat sesosok manusia terbungkus kain putih tengah berdiri menatap ke arah pintu rumah,
matanya menyipit untuk mempertajam penglihatan, semakin diperhatikan, objek bungkusan kain putih itu semakin jelas. Darahnya berdesir seketika, tengkuk lehernya meremang, Mira disergap rasa merinding.
Detik kemudian, seperti tahu sedang diperhatikan, makhluk tersebut secepat kilat menengok ke arah Mira!—sosok pocong berwajah hitam penuh luka kini mendongak ke atas menatap tajam padanya.
“Astagfirullah!”
Spontan Mira membanting keras jendela agar tertutup. Dia terkesiap, langkahnya mundur beberapa langkah ketakutan,
“Mira”
Suara berat pria memanggil. Suara itu terdengar dekat seperti berada tak jauh dibelakangnya. Mira ketakutan, peluh menetes di kening.

Mira masih berdiri menghadap jendela, sembari mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk menoleh ke belakang.
Tubuhnya gemetar begitu ekor matanya menangkap ada sosok yang berdiri di samping ranjang tidur.
“Astagfirullahaladzim” getar Mira, mengucap tanpa suara.
Dia meremas tangannya sendiri, napasnya menderu cepat, Mira mencoba mengendalikan serangan panik yang membekap dirinya.
Satu tarikan napas panjang membantu Mira untuk mengambil alih tenang
Pelan-pelan Mira memalingkan kepalanya menoleh ke belakang,
Sosok itu tidak ada. Mira melemas terjongkok di lantai,
“Astagfirrullahaladzim” ucapnya lagi.
Mira masih tak percaya dengan apa yang baru saja ditangkap matanya. Dia mengatur tempo napasnya sendiri setelah itu bangkit berdiri, mematikan saklar lampu kamar, kemudian merebahkan diri di ranjang kasur.
Mira masih terbayang-bayang dengan sosok pocong tadi, berbagai praduga mengitari isi kepalanya merujuk pada rumor yang beredar tentang Alamarhum om-nya yang menjelma menjadi pocong,
“Benarkah? Bagaimana Bisa?”
Perasaan tak berujung itu seperti tengah mengintimidasi satu ruang penasaran dalam batinnya, disaat bersamaan, Mira bahkan masih dapat mendengar suara jantungnya sendiri
Dia memiringkan badan menghadap ke jendela mencari posisi nyaman untuk memejam, namun dia seketika bergidik begitu melihat jendela dan memutuskan untuk memalingkan badan ke arah berlawanan dan disaat tubuhnya berbalik–
–Mira dikejutkan dengan sosok pocong berwajah hitam penuh luka yang kini berbaring di sebelahnya—jarak wajah mereka amat dekat, kurang dari satu jengkal!
Belum sempat Mira berteriak, dia merasa jantungnya telah menggelinding entah kemana, kemudian, gelap—Mira tak sadarkan diri dan selepas itu, dia tak ingat apa pun lagi.
*****
*****
“DAKKK!”
Listrik padam, terdengar suara seperti bohlam pecah dari lantai atas.
“PAK SARNO!!!!!!!”
Teriakan panik dari arah ruang tengah, memanggil-manggil namanya. Sarno bergegas membuka selorok laci mengambil satu kotak korek kayu, kemudian diraihnya lampu lentera yang menggantung di dinding.
Tanpa cahaya, berada di rumah ini bak terkungkung dalam ruang lembab yang menyatu dengan gelapnya malam tanpa bias cahaya bulan— Lentera yang baru saja dipantik api oleh Sarno menjadi satu-satunya sumber penerangan.
Baru satu langkah kakinya menapak, dia mendapati keganjalan pada pijakan pertama. Sarno merunduk, diarahkannya lentera ke lantai kayu.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat gumpalan rambut panjang terinjak satu kakinya dan berserakan dilantai.
“Milik siapa rambut-rambut itu?”
Tak ada satu pun yang masuk ke ruangan ini selain dirinya sendiri.
Firasat Sarno tak enak, dia mendadak disergap cemas.
Sarno melihat lagi serakan rambut itu yang sepertinya mengarah ke satu tempat.
Dalam gelap, Sarno mengikuti jejak serakan gumpalan rambut tersebut.
Dia berjalan agak merunduk agar cahaya lentera mampu menerangi lantai, maklum saja, terkikis usia, penglihatan Sarno sudah tak setajam dulu.
Serakan rambut itu menuntun Sarno ke arah kamar mandi di ruangan tersebut. Saat langkahnya tiba di depan pintu kamar mandi, Sarno tersentak getir,
ingatannya menarik Sarno pada peristiwa belasan tahun silam, ketika dia menemukan salah satu pegawai wanita tewas terbujur kaku di dalam kamar mandi dengan kulit membiru tanpa bola mata.
Sampai sekarang tak diketahui pasti penyebab meninggalnya. Sura, Almarhum majikannya pun tak pernah mau mengusut penyebab meninggalnya pegawai itu dan pegawai-pegawai lainnya yang juga meninggal secara tak wajar.
Kran terbuka mengucurkan air ke dalam bak penampung, samar-samar terdengar suara perempuan merintih kecil dari dalam bilik kamar mandi—suara perempuan itu tersamarkan dengan suara gemericik air
Sarno mengerjapkan mata, bisa jadi suara perempuan itu hanyalah wujud ilusi dari ketakutannya. Suara jangkrik terdengar menembus sunyi. Begitu hening, sampai Sarno mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri.
Rambut-rambut berserakan yang tak diketahui siapa pemiliknya itu menjadi hal yang harus dipastikan oleh Sarno, sebab, jika kekhawatirannya terbuki, maka dia harus segera melapor ke Pak Tua sebelum petaka semakin membelenggu mereka, bahkan desa ini.
Sarno membuka kenop pintu dengan gemetar, suara lirih itu kian terdengar jelas seiring ruang pintu yang terbuka.
Rasa cemas mulai menguasai diri Sarno, sudah bisa dipastikan bahwa suara rintihan perempuan memang menggema diantara gemericik air misterius dari kran yang terputar sendiri.
Sarno menelan ludahnya sendiri, melawan ragu dia terus melebarkan pintu. Lehernya seketika tercekat, ketika mata telanjangnya menangkap satu sosok perempuan bersimbah darah tengah terduduk di lantai kamar mandi membelakanginya.

“Pun-ten”
Sebuah kalimat sapa yang keluar begitu saja dari mulut gemetar Sarno meski telah mengetahui bahwa sosok dihadapannya jelas bukanlah manusia.
Secepat kilat, sosok itu memalingkan wajah memutar kepalanya 180 derajat namun badannya tetap di tempat seraya menunjukan bahwa kepala itu sudah tak lagi memiliki sendi—patah.
Wajah dan tubuhnya bersimbah darah, kedua matanya bolong seperti habis dicongkel. Makhluk perempuan itu merintih, namun begitu melihat Sarno di hadapannya dia seketia diam, menatap tajam.

—Bersambung—
Sumpah! Chapter 3 ini gw nulisnya merinding parah, Ilustrator gw juga diganggu ketika lagi gambar.
Langsung aja, buat yang mau baca duluan bisa download di sini :
https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-3
Cek spoilernya di poster bawah ?

Rasakan sensasi membaca chapter 3 ini berbeda dari sebelumnya, semoga energinya sampai ke pembaca.
Oiya, buat yg mau akses full chapter E-book “Rumah Pocong Sura” bisa cek di sini: https://karyakarsa.com/jeropoint/rewards
Versi thread disambung lusa ya,
Terima kasih buat yang sudah mendukung!
—LANJUT—
Sarno mematung, dia seolah tak bisa menggerakan kaki-kakinya sendiri untuk lari atau sekedar mundur. Perempuan di hadapannya kini menyeringai lebar, dia menggelengkan kepala yang sudah memutar 180 derajat itu ke kiri dan kanan secara perlahan.
Sungguh, bila diingat lagi, dirinya masih merasa merinding sampai sekarang, bahkan ketika menceritakan bagian ini, Pak Sarno beberapa kali nampak kesulitan mengungkapkan, dia seperti memiliki trauma atas kejadian kelam masa itu.
Terlebih dia mengenal sosok perempuan tersebut semasa hidupnya—bila kalian setuju, saya akan menceritakan sosok makhluk perempuan ini secara terpisah, karena cukup tragis dan mengerikan.
“TOLONG!”
Perempuan bersimbah darah dan bermata bolong itu menyentak Sarno yang membuat refleks kejutnya membanting pintu keras hingga memantul,
“Astagfirullahaladzim”
Sarno lemas, tubuhnya roboh ke lantai. Dia mengatur tempo napasnya yang menderu, bahkan detak jantungnya menjadi lebih cepat dari jarum detik. Sarno membaca doa-doa yang dipercayai untuk mendapat perlindungan dan ampuh mengambil alih tenang.
Rambut-rambut itu lenyap entah kemana bersama rintihan lirih yang semula bergema di kamar mandi. Sarno gontai bangkit berdiri, Dia memeriksa kamar mandi sekali lagi—kosong, tak ada apa pun atau siapa pun.
“AAAAA!!!!!!”
Terdengar suara teriakan keras dari lantai atas, disusul oleh suara gemuruh langkah kaki yang tak lain berasal dari Rita dan Iwan yang tengah panik.
“Mira.”
Pria berjanggut itu tergopoh-gopoh menenteng satu lentera, mempercepat langkahnya menuju sumber suara di lantai atas. Malam ini terasa begitu mencekam, terlebih bagi Sarno,
bahkan bulan pun tak cukup nyali untuk menampilkan bulatnya sehingga alam diluar menjadi lebih gelap tanpa pantulan bias rembulan, hanya kepada lentera di genggamannya-lah dia menggantungkan keberadaan satu-satunya cahaya penerang.
“PAK SARNO! PAK SARNO!!!” Teriak panik Iwan.
Sarno mempercepat langkahnya menaiki anak tangga “Pak Sarno!!!”
Suara iwan tak henti-henti meneriaki namanya, namun Sarno memilih untuk menyimpan sisa tenaganya dibanding membalas berteriak. Peluh menetes deras di keningnya menembus hawa dingin manakala tak henti menusuk kulit.
Dia tiba di lantai atas, melihat raut Iwan tampak kacau, cemas bukan main berdiri di depan pintu.
“Mira hilang” Ucap Iwan.
Satu tangan Sarno seketika menopang pada dinding mempertahankan keseimbangannya agar tidak roboh lagi ke lantai, sedangkan Rita tampak terjongkok menangis histeris mendapati putrinya menghilang dalam keadaan kerasukan,
“Bapak yang nyuruh kita ninggalin Mira sendirian di kamar!!! Tanggung jawab! Cari Mira!” sentak Rita.
Sarno hanya terdiam,
“Ada apa ini sebenarnya pak?” tanya Iwan yang juga tak mampu membendung air matanya lagi.
Namun sungguh pertanyaan; ada apa sebenarnya? merupakan tanda tanya yang Sarno sendiri belum menemukan jawabannya—
sedaridulu, sejak meninggalkan almarhum Sura, kejadian misterius nan mengerikan bertubi-tubi terjadi, dimulai dari hilang dan ketidakwajaran meninggal para pegawai,
terror yang minimpa warga desa, hingga kesaksian menemukan fakta bahwa Sura yang mati suri bukan lagi manusia, melainkan pocong!
Sarno tak menjawab ucapan Rita atau pun Iwan, bola matanya tertuju pada satu jendela kamar yang terbuka. Di melangkah hati-hati tanpa mampu menyembunyikan gemetar kedua kakinya,
“saya sudah cari dia di kamar ini, kolong kasur, bahkan seluruh ruangan di lantai ini dan bawah, tapi Mira nggak ada. Dia hilang” cerocos Iwan.
Sarno tak bergeming, matanya menyipit menatap jendela itu, “Sejak kapan jendela ini kebuka?” tanya Sarno datar.
“Jendela itu udah kebuka sejak saya masuk tadi—” kalimat Iwan tertahan, bola matanya membelalak lebar, dia melangkah cepat menyusul langkah Sarno menuju jendela terbuka yang menyorok langsung ke perkebunan teh itu.
“Maksud bapak, Mira loncat?” tanya tegas Iwan.
“Jendela ini tak pernah bisa dibuka, sejak rumah ini ditinggal kosong.” Sarno mengucap datar,
isi kepala Sarno mengawang jauh melintasi ruang waktu masa lalu serta menyeruak jelas diingatan ucapan Aki, seorang tokoh spiritual desa mengenai jendela ini,
“Jendela ini hanya bisa dibuka oleh pemiliknya, jika suatu waktu ia terbuka, artinya marabahaya akan datang menyusul”
Suara Aki menggema di kepala Sarno, dalam batin, dia merutuki diri sendiri—andai saja dia mengikuti petuah Aki untuk tidak membiarkan keluarga ini datang lagi, mungkin petaka yang ditakutkan seperti malam ini tak akan terjadi.
Piringan hitam di ruang tengah mendadak kembali memutar suara almarhum Sura bernyanyi. Semua telinga spontan siaga, mereka kompak menduga itu Mira, namun pikiran Sarno malah berkecamuk menduga-duga ragam kemungkinan. Rita dan Iwan bergegas turun ke lantai bawah.
Sarno tak bergeming, di lantai bawah terdengar suara Rita histeris meneriaki nama Mira, sudah bisa ditebak, bahwa Mira tak ada di sana.
Sarno merapatkan langkahnya menuju jendela, pandangannya menelisik sekitar menyusur diantara gelap, kemudian bola matanya terhenti dan melebar di satu pohon besar yang ada di halaman, di sana ada sosok Mira berdiri menatap ke arah pintu rumah dengan tatapan kosong—
Sarno tersengat ingatan, bahwa pohon besar itu merupakan tempat salah satu pegawai meninggal gantung diri setelah sebelumnya sempat kerasukan.
Tak lama, gemuruh terdengar di lantai bawah, Iwan nampaknya melihat Mira dari jendela ruang tengah. Pintu utama terbuka membanting, namun kemudian hening ketika satu tangan Mira terangkat pelan lalu menunjuk ke arah kiri.
Betapa terkejutnya mereka ketika mengikuti telunjuk Mira—berjarak tak jauh dari tempat Mira berdiri, ada banyak pocong-pocong berwajah gosong dengan kafan berlumuran tanah basah tengah berdiri dan juga ikut menatap ke arah Iwan dan Rita.
“Astagfirullahaldzim”
Sarno terkesiap, ketakutannya menjelma nyata, dunianya runtuh seketika mengetahui petaka yg dihindari satu desa ini selama bertahun-tahun telah tiba. Langkahnya spontan mundur menjauh dari jendela. Sorot matanya mengisyaratkan satu kalimat—
“Mati Kita”
—dari penulis—
Agar tidak kepanjangan, selanjutnya versi thread ini akan saya ringkas dan rangkum ya,
—–Lanjut—
Di bawah redup purnama yang menyamarkan warna hijau daun teh dalam gelap, Mira menatap lurus-lurus Iwan dan Rita yang tengah berdiri histeris di batas pintu utama rumah.
Sorot mata tajam itu bukan lagi milik gadis remaja nan lugu, namun milik satu nama yang dipenuhi bara amarah dan kebencian.
Sarno masih tak bergeming, dari lantai atas dia nampak terpukul dan tak percaya atas apa yang ditangkap mata telanjangnya—sejajar dengan raga Mira berdiri, nampak berbaris makhluk-makhluk berbalut kafan putih penuh kotor tanah,—
— beberapa diantara mereka juga ada yang bersimbah darah, wajah serupa hitam legam, dan pocong-pocong itu ditafsir berjumlah belasaan.
Namun satu hal yang membuat jantungnya terasa luruh ialah ketika Sarno merasa mengenali satu per satu dari mereka.
“Para pekerja Pak Sura yang hilang dan tewas.”
“Ya Tuhan Mira!!!!” histeris Rita
“Pa, gimana ini pa?”
Entah dosa apa yang diperbuat olehnya, Iwan tak pernah berpikir akan menghadapi situasi mimpi buruk dalam keadaan sadar seperti ini.
Tak bisa dipungkiri, dia disergap ketakutan yang memaku kaki-kakinya hingga mematung, tubuhnya gemetar lemas, namun kecemasan atas keselamatan putrinya, ditambah tangis histeris dari Rita mengurung Iwan dalam perasaan gamang.
“Miraa”
“Kembalikan Putri saya, mas, jangan sakiti dia.” Rita mulai meracau seraya dirinya mengetahui siapa sosok dibalik tubuh Mira. “Mira gak salah apa-apa, mas” isak Rita yang sudah tak mampu menopang keseimbangannya sendiri.
Iwan menoleh ke belakang, dia tak menemui keberadaan Pak Sarno, pikiran Iwan menemui jalan buntu. Tak lama, piringan hitam di ruang tengah memutar lagu yang sama—suara almarhum Sura yang tengah menyanyikan lagu kesukaannya.
“Dijemput malam, ikut aku pulang,
Waktunya telah tiba, serahkan jiwa,
Mari berpulang, bersemayam tenang”
Penggalan lirik yang dilantunkan dalam rekaman piringan hitam itu menyatu dengan hening membentuk satu ruang mencekam nan mengerikan yang mana membuat setiap pasang telinga yang mendengar merasa seketika terancam.
Denting lantunan piringan hitam yang juga sampai ke telinga Sarno membuatnya terkesiap. Telinganya menajam menangkap isi lirik yang terputar-putar di melodi yang sama bak kaset rusak.
Kedua pupil mata Sarno membesar, buru-buru dia memastikan dengan menoleh lebih dekat ke jendela. Terlihat tubuh Mira yang melemas lalu lungkai terkulai di tanah dengan mata terpejam.
Pocong-pocong yang semula berbaris bak tentara siap perang pun seketika menghilang.
Sarno seperti tersengat sesuatu seraya menyadari tanda bahaya.
Dari arah pandangnya dia lihat Iwan menyeret Rita lalu menggotong tubuh Mira yang tak sadarkan diri, kemudian diangkutnya ke dalam mobil. Suara mesin mobil menggerung menunjukan bahwa mereka hendak kabur.
Tersaruk-saruk Sarno tergesa keluar kamar, melangkah cepat menuruni anak tangga untuk mencegat mereka.
Namun dia masih kalah cepat—tepat pada dirinya tiba di batas pintu, mobil yang dikendarai Iwan telah melesat kilat tak ubahnya sedang dikejar-kejar setan.
“Mereka menggali kuburan mereka sendiri.” Gumam Sarno.
Isi kepala Sarno menemui banyak cabang yang merunut pada satu kesimpulan bahwa malam itu, dirinya telah menjadi saksi kali pertama mereka kembali—petaka yang selalu dihindari oleh Aki.
—–
Membelah langit biru, similir angin mengantarkan aroma amis tak sedap ke hidung orang-orang yang tengah berkerumun sembari berbisik samar.
Matahari yang sudah bertengger ditampuk cakrawala menyorot satu mobil offroad yang ringsek terperosok ke jurang terjal.
Dari balik pecahan kaca mobil, masih ada darah-darah segar yang mengalir dari tiga orang korban celaka yang sudah dipastikan tak bernyawa.
Peristiwa itu menggegerkan satu Desa, namun tidak bagi Sarno yang telah menduga. Pagi itu, dia menyambangi kediaman Aki, sepuh Desa yang disegani sebagai tokoh spiritual.
“Jangan kubur mereka di desa ini, beritahu para warga untuk sementara jangan keluar setelah magrib. Kita harus ruwatan” Ujar Aki.
Setelah hari itu, pada saat mendampingi evakuasi jenazah Mira, Rita, dan Iwan kepada pihak keluarga almarhum Sura lainnya, Pak Sarno menyatakan pengunduran diri sebagai karyawan terakhir keluarga Sura.—
sejak hari itu, Rumah tersebut menjadi tak terurus dan semakin terbengkalai. Kian hari, bangunan tersebut ibarat magnet yang menyerap energi negatif yang semakin pekat.
Meski ruwatan desa telah dilakukan, namun cerita-cerita mengerikan berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar terus beredar luas membuat eksistensi rumah itu mulai dijuluki sebagai sarang demit.
Di hadapan kami, Pak Sarno menyeruput cangkir kopi keduanya. Baginya menceritakan kisah itu tak ubahnya menggali masa trauma masa lalu yang tak kunjung berdamai,
khususnya perihal mantan rekan-rekan pegawai Pak Sura yang hilang dan tewas, namum tiba-tiba, di satu waktu tak terduga Pak Sarno dipertemukan lagi dengan mereka dalam rupa yang telah menjelma menjadi pocong-pocong!
Bisa kamu bayangkan bagaimana menjadi Pak Sarno?
“Pak bagaimana bisa, maaf, alm Pak Sura menjadi seperti itu? Pasti ada alasan kuatnya. Apakah pesugihan?” Tanyaku.
Aki tersenyum kemudian pandangannya menerawang jauh, “lebih tepatnya, ilmu hitam, bersekutu dengan iblis.” Jelas Aki.
Jawaban itu kemudian mengalir deras mengulas rentetan peristiwa janggal di masa lampau yang dialami Alm. Sura, termasuk tragedi yang menimpa para pekerja yang hilang, celaka, dan bunuh diri,
Juga kisah dari keluarga Alm Sura itu sendiri, hingga bagaimana kemudian bangunan tua tersebut dikenal sebagai,
“RUMAH POCONG”
Semua kisah itu dapat kalian baca di versi E-book Pocong Sura Chapter 4 dan 5.
Dilengkapi ilustrasi berdasarkan kejadian yang terekam, versi e-book Pocong Sura juga memuat cerita yg lebih rinci dibanding versi thread yang diringkas.
Download Versi E-book Pocong Sura Chapter 4 di sini:
https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-4
Cek poster spoilernya : ?

END CHAPTER!
E-book Pocong Sura Chapter 5 (Tamat!) download di sini:
https://karyakarsa.com/jeropoint/rumah-pocong-sura-5-end
Cek poster spoilernya : ?

Kalian juga bisa mengambil paket akses Full Part (All Chapter) E-book Pocong Sura di sini :
https://karyakarsa.com/jeropoint/rewards
–Versi Thread END–
Buat kalian yang mau sekedar mendukung tim jeropoint untuk semangat berkarya, bisa klik link berikut ya :
https://saweria.co/JeroPoint
Terima atas apresiasi kamu!
Sampai bertemu di Thread selanjutnya!
Paket Promo E-book Full Chapter!
? Promo E-Book “RUMAH POCONG SURA” Full Chapter!
Total 5 E-book hanya 75K!
✅Baca duluan/Fast track
✅Cerita lebih detail
✅Dilengkapi dengan Ilustrasi berdasarkan kejadian yang terekam
✅Berlaku selamanya! File dikirim lewat e-mail
Slot terbatas, silahkan DM.

— QRT https://twitter.com/JeroPoint/status/1551510742876139522
Inilah alasan mengapa pocong menjadi makhluk legenda urban yang energinya amat kuat.
Habis baca Pocong Sura, tonton kisah pocong pelaku pesugihan yang meneror satu komplek!
Tonton selengkapnya di Jero Portal :
(SOUND ON!)