[quads id=1]
Original thread by mwv.mystic (@mwv_mystic)
KETUKAN DARI KORBAN TERLINDAS KERETA
a thread

Cerita akan dimulai malam ini, jam 20.00 wib, berbarengan dengan di Instagram. Silahkan like atau bookmark dulu agar nanti malam tidak ketinggalan yaa
Assalamualaikum pembaca mwv.mystic semua, perkenalkan aku Putri, sekarang aku sudah berkeluarga dan tinggal di salah satu kota di Pulau Jawa. Cerita yang akan kubagikan kali ini, adalah kisahku saat masih tinggal dengan orang tuaku dulu di awal awal tahun 2000an.
Sebelumnya mohon maaf aku tidak bisa menjelaskan secara jelas mengenai lokasi dan beberapa detail cerita.
Aku berasal dari keluarga sederhana yang terdiri dari aku, kak Rendi, Bapak, dan Ibu. Aku memiliki rumah yang berada tepat di tepian rel kereta api.
Rumahku sewaktu kecil ini bertingkat dua, lantai satu adalah ruang tengah, dapur, wc serta kamarku dan orang tua. Sedangkan di lantai dua ada kamar kak Rendi, dan sebuah balkon luas terbuka untuk jemuran dan torren air.
Jemuran ini menghadap langsung ke arah rel kereta tanpa ada penghalang apapun. Bapak juga sengaja membiarkan sisi belakang rumah tidak di cat dan hanya berbentuk coran kasar.
Selain itu ada satu pintu belakang yang jika dibuka langsung ke tepian rel, biasanya ibu gunakan untuk membuang sampah atau debu sisa menyapu rumah.
Rumah kami memang memunggungi rel karena jalan desa yang melebar dan tidak mengikuti jalur rel, jadi di tempat tinggalku, sebagian rumah menghadap rel karena jalan desa ada di depannya, sebagian lagi termasuk rumahku menghadap jalan tapi memunggungi rel.
Kembali ke keseharianku, saat itu aku baru kelas 4 SD dan termasuk anak yang malas bergaul. Aku lebih memilih berada di dalam rumah, entah itu menonton, bermain bonekaku, atau tidur siang ketimbang bermain keluar dengan yang lain.
Hal ini juga yang membuatku tidak mengenal begitu banyak tetanggaku kecuali hanya beberapa saja. Berbeda dengan kak Rendi yang saat itu sudah sekolah di jenjang SMP, ia sangat dikenal oleh orang orang sekitar karena orangnya yang humoris dan mudah bergaul.
Sementara ibu dari siang hingga maghrib berjualan minuman ringan di depan rumah, pembelinya tentu saja anak anak kecil pinggiran rel dan beberapa tetangga lain. Ibu yang aku kenal adalah seorang yang paling alim di keluarga kami.
Kalau tidak ada pembeli, ibu biasa membaca quran dan di malam hari sering sholat tahajjud. Sedangkan bapak bekerja sebagai tukang yang berangkat pagi dan pulang hampir jelang tengah malam, bapak tidak begitu kental dengan agama, namun bapak tetaplah kepala keluarga yg baik.
Tinggal di pinggiran rel kereta membuat keluarga kami juga terbiasa dengan suara kereta yang lewat rutin setiap harinya. Namun, tantangan lain ketika kami memilih tinggal di pinggiran rel adalah faktor keamanan dan hal lain yang diluar dugaan kami sebelumnya, yaitu hal mistis.
Rel di belakang rumahku sebenarnya lurus, tidak berbentuk S sebagaimana biasanya lokasi rawan kecelakaan terjadi. Hanya saja, sejak aku tinggal disana terhitung sudah beberapa kali rel tersebut memakan korban.
Mulai dari pengendara sepeda motor yang nekat menerobos palang sederhana yang dibuat warga, atau orang gangguan jiwa yang tersambar saat sedang berjalan sendirian di tepian rel.
Saat kedua kejadian itu terjadi, aku belum cukup umur untuk melihat kejadiannya dan ibu menyuruhku untuk tetap di dalam rumah saja. Seingatku waktu itu aku masih TK atau kelas 1 SD, dan akupun belum begitu mengerti tentang kematian.
Trauma pertama sekaligus awal mula kisah mengerikan ini terjadi saat aku untuk pertama kalinya mengetahui tentang kasus kematian yang terjadi di rel kereta dekat rumahku.
Hari itu, aku ingat sekali Minggu pagi, aku masih sibuk dengan agenda menonton kartun minggu di salah satu stasiun televisi. Tiba tiba saja aku mendegar dari arah pintu belakang yang menghadap rel, ada suara orang orang yang kuperkirakan masih remaja berteriak
“Woi Woi Woi Itu datang! Buruan Buruan Buruan!! Wooiii” sumber suara itu berasal dari beberapa orang.
Lalu tak lama tanah mulai bergetar dan sirine panjang kereta berbunyi tanda kereta lewat. Setelah suara kereta berlalu, hanya sepersekian detik kemudian aku mendengar suara jeritan bu Sum, tetanggaku yang berada 3 rumah disampingku.
Lalu aku juga mendengar suara riuh dari beberapa orang yang bergumam dan beberapa lagi berteriak.
Bapak yang sedang membaca koran spontan berdiri dan keluar rumah menghampiri sumber suara. Ibu juga keluar dari dapur dan juga keluar, namun ibu hanya sampai ambang pintu.
Sementara aku tidak bergitu tertarik untuk keluar karena tontonanku sedang seru serunya. Tak sampai semenit, bapak kembali dengan wajah pucat dan keringat di dahinya.
“Ada apa pak?..” tanya ibu.
“Ada korban kelindes kereta lagi bu.. kepotong tiga…” kata bapak pelan sambil bergegas membasuh muka ke dalam kamar mandi.
Bapak sepertinya trauma dan wajahnya pucat seperti orang mual.
Namun bapak lalu memasang bajunya, iya, bapak daritadi bertelanjang dada dan hanya memakai sarung saja, bapak pulang untuk mencuci muka dan memasang bajunya, lalu kembali keluar.
Ibu yang sepertinya juga penasaran akhirnya ikut bapak. Di rumah akhirnya hanya ada aku dan Kak Rendi di dalam kamarnya. Banyak orang orang melewati depan rumahku tanpa henti dari para orang tua hingga anak anak, sepertinya untuk melihat lokasi kejadian.
Akhirnya, akupun penasaran untuk ikut melihat keluar. Saat aku keluar rumah, sudah ramai orang orang berkerumun di tepian rel kereta sambil melihat ke arah salah satu spot di tengah tengah rel.
Aku coba menyelinap diantara sela sela orang sampai akhirnya aku bisa dapat spot tepat di tanggul tepian rel kereta, ada beberapa anak kecil juga yang bersama denganku waktu itu.
Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat mayat yang kondisinya sudah rusak. Seperti kata bapak, tubuhnya terbagi tiga.. dada ke kepala, badan hingga panggul, dan paha hingga kaki. Posisi ketiga potongan itu juga sudah berjauhan.
Posisi kepala berada di sisi paling kanan jalur, badan yang hancur dengan isi perut yang terpencar pencar di tengah, dan bagian kaki di tak jauh dari dari badan. Itu berarti kepala dan sebagian badan sempat terbawa kereta karena posisinya lebih jauh sesuai arah jalan kereta.
Walaupun dari posisi yang tidak begitu dekat, aku bisa melihat daging segar dan darah yang tersebar di sekitaran TKP. Aku juga bisa melihat rambut korban, karena saat itu memang warga belum menutup jasad tersebut dengan sempurna.
Jujur saat itu aku belum merasakan apapun, padahal itu jasad tak utuh pertama yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku hanya menatapinya dengan tatapan kosong ditengah hiruk pikuk warga lain yang juga menonton.
Lamunanku buyar setelah sirine ambulans dan polisi berbunyi, aku akhirnya “diusir” oleh warga lain. “Eh anak kecil ngapain disini? Pulang! Pulang!”
Akupun kembali ke rumah. Bapak dan ibu belum kembali saat itu. Akhirnya aku memutuskan ke atas, ke kamar kak Rendi. Diatas, kak Rendi ternyata sedang menonton evakuasi korban itu juga dari balkon jemuran rumah kami.
“keliatan darisini kak?” tanyaku sambil berjalan mendekat.
“keliatan banget” jawab kak Rendi tanpa menoleh ke arahku.
Aku pun berdiri tepat di samping kak Rendi. Dan memang, dari balkon ini aku bisa melihat ke lokasi kejadian.
Saat itu polisi sepertinya sedang mengambil data, mereka terlihat memfoto foto korban dan lokasi sekitar. Tak lama, potongan potongan tubuh itu dimasukkan ke dalam karung jenazah dan dibawa pergi.
Setelah polisi pergi, beberapa warga berinisiatif menyiramkan air ke lokasi lokasi yang terkena cipratan dan genangan darah. Belakangan aku ketahui juga ada beberapa warga yang masih menemukan potongan daging, ceceran otak bahkan kulit manusia di lokasi itu.
Sudah beberapa jam berlalu sejak jasad dibawa oleh ambulance dan lokasi kejadian dibersihkan warga, namun, bau anyir darah belum juga hilang dan malah semakin kuat.
Malamnya, selepas maghrib seperti biasa aku ada jadwal pengajian di salah satu mushola yang posisinya ada di kampung seberang rel. Dan untuk mencapai mushola itu, aku biasa menyusuri tanggul di tepian rel.
Jangan bayangkan aktivitas rel ini se padat jadwal krl di Jakarta dan dengan pagar tinggi pemisah antara perkampungan ya. Antara rel dengan jalan warga hanya dibatasi sebuah tanggul setinggi kurang lebih 1 meter, dengan posisi rel lebih tinggi dari jalan umum.
Aku sudah terbiasa menyusuri tanggul ini untuk berjalan ke mushola di seberang. Selain aksesnya lebih mudah karena tidak perlu menyusuri gang rumah warga yang berkelok kelok, menyusuri tanggul ini juga lebih singkat karena posisi mesjid memang juga berada di tepian rel.
Sore itu, saat langit sudah senja dan penduduk yang tadi melihat kejadian sudah bubar, aku bersama salah satu tetanggaku berangkat dengan membawa perlengkapan ngaji dan sebuah senter.
Kamipun berdua menyusuri tanggul itu yang mengarah ke lokasi kejadian tadi pagi seperti biasa. Walaupun jujur aroma darah masih sangat tercium disana. Aku belum menyalakan senter karena hari masih cukup terang.
Hingga di suatu spot, aku melihat ada lalat yang berkerubung dan semut semut merah yang menggerogoti suatu benda. Kukira awalnya itu bangkai anjing, kucing atau tikus, kami berdua menutup hidung saat melewatinya kalau kalau itu bangkai yang sudah mengembung..
namun ketika kami lewat, aku menyenteri objek itu dan sadar itu adalah onggokan daging dengan kulit yang masih menempel… tidak ada kepala hewan atau bulu bulu apapun. Itu hanya daging merah yang dikerubungi semut..
Aku berlari kecil sambil menarik tangan teman ngajiku. Entah kenapa aku tidak terbesit untuk melapor ke orang lain dan tetap fokus berjalan agar tidak terlambat ke pengajian.
Sepulang dari pengajian usai sholat Isya, aku melewati jalan yang sama. Namun kali ini ada beberapa warga dengan senternya tengah menyisir sekitar jalur rel tadi. Memang penerangan disini kala itu masih sangat kurang di sepanjang rel.
Sumber lampu hanya ada dari teras rumah warga saja dan lampu di jalur penyebrangan tradisional dengan palang dari kayu. Curi curi dengar dari warga, katanya ada yang menemukan onggokan daging tercecer disana dan akhirnya warga menyisir ulang lokasi tersebut.
Beberapa waktu sejak kejadian itu berlalu, di lingkungan rumahku mulai tersiar kabar desas desus sosok asing yang sering berlalu lalang di sepanjang rel kereta lokasi kejadian.
Beberapa orang mengaku melihat bayangan hitam yang mondar mandir di rel tersebut pada malam hari, namun ketika disenter, sosok itu lenyap begitu saja. Hal ini membuat banyak orang tua khawatir dan melarang anaknya melewati jalur kereta itu di malam hari, termasuk ibuku.
Ibu sebenarnya bukan takut sosok itu adalah hantu, Ibu justru takut jika itu adalah orang mabuk atau orang gangguan jiwa yang bisa membahayakanku.
Namun nyatanya teror itu semakin menjadi jadi. Kehebohan kembali terjadi saat salah satu tetanggaku mengaku pada malam hari pintunya menghadap ke rel kereta digedor gedor dengan sangat keras pada dini hari..
dan berdasarkan ceritanya, ketika ia melihat dari balik jendela, ada sosok manusia dengan muka rusak dan mengalirkan darah kehitaman sedang membentur benturkan kepalanya ke pintu rumah itu…