Original thread by Creepylogy (@creepylogy_)
AMBULANS JENAZAH KORBAN MUTILASI
Apa yang dialami dua pengantar jenazah dalam kisah ini sukar dijelaskan…
Izin tag
Terima kasih RT/likes ?
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror

Waluyo, 75 tahun, sepi dalam masa tua. Anak-anaknya sudah mapan dan hidup berjauhan, istrinya sudah meninggal, dan karib kerabat satu persatu tinggal kenangan. Waluyo tak banyak mau, yang penting hidup tenang dan mati dalam damai. Namun, yang sederhana pun kadang sukar terwujud.
Saat istrinya meninggal beberapa tahun lalu putra-putri Waluyo memberi saran agar ayahnya pindah ke panti jompo. Rumah di Kota Bekasi biar saja, nanti bisa dipakai untuk lebaran dan tahun baru atau kapan pun saat berkumpul. Sayangnya Waluyo tidak mendengarkan saran itu.
Bagi Waluyo, jangankan meninggalkan rumah, membuang majalah mode yang biasa dibaca istrinya saja sudah mustahil. Pendek kata, ia takkan pergi. “Biar aku tetap di rumah. Jangan dibikin ruwet, toh, masih ada Diki.”
Diki telah bertahun-tahun membantu keluarga Waluyo. Ia direkrut saat istri Waluyo memerlukan orang untuk bantu-bantu usaha sambilan makanan beku. Selepas kematian sang istri bisnis tersebut dilanjutkan dengan cara bagi hasil.
Kepala tiga, belum menikah, tetapi mau menikah, itulah Diki. Namun, Waluyo selalu punya banyak cara mencegah dia pergi. Satu waktu Waluyo menaikkan bagian untuk Diki, di kesempatan lain ia malah menjanjikan modal usaha.
Diki menunggu janji itu hingga pada waktunya ditagih. Akan tetapi Waluyo kembali membuat alasan. Katanya tunggu akhir tahun sembari mendapatkan pengganti yang cocok.
Tidak sulit sebenarnya memahami motif Waluyo; Dia hanya tak ingin sendirian sepi. Bagi Diki hal itu menjadi persoalan serius, lebih-lebih majikannya senang menahan uang bagi hasil penjualan walau memang dibayarkan pada akhir tahun.
Meski demikian Diki menunggu, bulan demi bulan hingga tutup tahun. Waluyo pun membayarkan uang sesuai bagiannya. Tetapi ketika Diki siap-siap pamit, majikan kembali menahan. Alasannya tunggu sebentar lagi, penggantinya sudah ada, tetapi belum bisa segera datang.
Beberapa bulan sesudahnya, rumah Waluyo tiba-tiba sunyi. Beberapa orang yang berkunjung untuk membeli makanan beku agak bertanya-tanya. Baik Waluyo maupun Diki tampaknya pergi. Namun, para pembeli dan tetangga tidak mengira ada apa-apa.
Tidak lama kemudian Sugeng, anak lelaki Waluyo datang. Dia cemas lantaran ayahnya tidak bisa ditelepon. Rumah dalam keadaan terkunci, sementara lampu-lampu menyala. Dibantu warga sekitar akhirnya pintu rumah dibongkar paksa.
Pedalaman rumah itu rapi dan bersih seperti tidak terjadi apa-apa. Sugeng segera memeriksa tiap sisi rumah, tetapi ayahnya tidak ada, begitu pun Diki. Sugeng mengira Diki pergi membawa sang ayah.
Sejumlah orang bersaksi bahwa tiga hari yang lalu Diki masih melayani pembeli, malah siang harinya ia menerima pengiriman stok dari distributor. Sugeng pun membenarkan hal itu. Katanya ia menemukan freezernya penuh.
Hari itu Sugeng memutuskan bermalam di rumah sang ayah. Ia juga sudah membuat laporan di kantor polisi, di samping terus mengumpulkan informasi dari semua pihak.
Pagi harinya Sugeng kembali menggeledah rumah ayahnya hingga hal-hal terkecil. Berharap menemukan petunjuk dari situ. Dan ia akhirnya melihat kejanggalan dari penemuan sebuah gerinda tanpa mata di bawah meja dekat kamar mandi.
Karuan saja Sugeng langsung membongkar area sekitar situ hingga ia menemukan beberapa helai rambut yang telah memutih menempel di tembok luar kamar mandi. Tampak pula bercak warna cokelat di tembok itu.
Firasat buruk menghantui. Lantas Sugeng meminta bantuan salah seorang tetangga untuk membongkar rumah. Satu jam kemudian akhirnya terbukti kalau firasat buruk itu benar. Waluyo sudah tewas, tubuhnya dipotong beberapa bagian dan ditaruh terpisah di bawah tumpukan makanan beku.
Aparat kepolisian dapat mengungkap kasus itu dengan cepat. Diki ditangkap di tempat persembunyiannya yang masih di Jawa Barat. Ia mengaku gelap mata karena selain selalu dihalangi pergi, korban juga sering berkata kasar dan membentak.
Adapun jasad korban, setelah selesai diperiksa guna melengkapi berkas acara pemeriksaan segera dikembalikan agar bisa dimakamkan. Dalam hal ini keluarga korban memilih penyedia jasa ambulans swasta.
Husaini pagi itu sedang bersantai sambil memberi pakan ikan di halaman rumahnya, hingga sebuah panggilan masuk. Ada yang meminta jasa ambulans untuk mengantar jenazah dari Bekasi menuju Sragen. Ia juga diberitahu semua informasi yang berkaitan dengan jenazah.
Lelaki itu tak bisa menolak, bukan karena alasan cuan, melainkan karena sebagai penyedia ambulans, ia memang tak bisa menolak. Apalagi kalau sudah menyangkut jenazah, katanya, wajib diterima meski uangnya tipis.
Husaini pun bergegas. Mengingat akhir pekan ia bisa minta ditemani anaknya, Ali untuk gantian menyetir. Singkat cerita Husaini berangkat berdua siang hari pukul 2. Rencananya mereka akan berjalan beriringan dengan mobil anak-anak korban.
Biasanya, cerita Husaini, tiap kali membawa jenazah ia selalu merasakan adrenalin meluap. Entah mengapa timbul dorongan untuk secepatnya sampai di tujuan. Namun, hari itu berbeda, dia justru mengemudi lebih tenang.
Mungkin disebabkan itu adalah pengalaman pertamanya membawa jenazah mutilasi, meski ia sudah diberitahu kalau jenazah telah diperlakukan sedemikian rupa agar tetap tampak utuh.
Ambulans Husaini menempuh rute melalui jalan tol Cikampek, pantai utara hingga Weleri, Salatiga dan seterusnya. Jalur tol tahun itu belum selengkap sekarang. Baru keluar Cikampek Husaini sadar mobilnya ternyata sudah terpisah dari iring-iringan.
Sepanjang gilirannya menyetir lelaki itu tidak menjumpai keanehan sedikit pun. Dia pun mengaku sebetulnya jarang betul mengalami kejadian yang mengherankan saat membawa jenazah. Malah menurutnya membawa ambulans sama saja dengan “mengangkut barang”.
Sehabisnya Weleri Husaini digantikan Ali. Anaknya yang satu ini cukup mengerti jalan. Husaini memercayakan perjalanan pada Ali sepenuhnya sehingga ia bisa beristirahat barang sebentar.
Husaini tak sadar berapa lama ia tertidur. Ali yang membangunkannya, “Pak, kita hampir sampai.” Reflek Husaini melek. Ia melihat Ali berbicara pada seseorang, minta ditunjukkan alamat. Segera ia sadar posisinya berada di sebuah jalan raya yang menghubungkan Sragen-Purwodadi.
Dari titik itu rupanya sudah dekat ke alamat. Tanpa kesulitan berarti ambulans sampai di tujuan. Orang-orang langsung menyambut kedatangan jenazah dengan dengan tangis duka yang meluap-luap.
Jenazah lekas diturunkan lalu dibawa ke sebuah rumah. Itu adalah rumah orang tua Waluyo yang ditempati adik ragilnya. Jenazah Waluyo direncanakan untuk dimakamkan malam itu juga di pemakaman terbatas milik keluarga.
“Jam berapa sekarang?” Husaini bertanya pada anaknya.
Ali menengok jam tangan dan ia langsung kaget bukan alang kepalang.
“Jam 7.”
“Baru jam 7?”
Kenyataannya sudah begitu. Mobil pengiring belum lagi tiba. Dan Husaini kemudian diberi kabar bahwa mereka masih tertinggal jauh di Pemalang. Secepat-cepatnya dari Pemalang ke Sragen adalah enam jam. Mestinya pun begitu, waktu tempuh Bekasi-Sragen normalnya 12 jam.
Husaini dan Ali tak habis pikir betapa itu mudah terjadi. Tetapi karib kerabat mayit amat berterima kasih dengan kegesitan mereka mengantarkan jenazah.
“Kata Sugeng, ndak apa-ndak dimakamkan saja segera, lebih cepat lebih baik,” ujar seseorang kepada Husaini.
Jadi, apa yang menimpa mereka berdua? Mereka bahkan tak mengerti. Semua terasa wajar, sama sekali tidak ada yang aneh. Ali mengatakan dirinya hanya fokus ke depan, satu-satunya yang ada dalam kepalanya adalah mengantarkan jenazah secepatnya.
Kedua orang itu lalu mencoba mengemudi lebih cepat sepanjang perjalanan pulang. Hasilnya, berangkat dari Sragen pukul 10 malam, tiba di rumah jam 9 pagi.
“Dulu pernah mobil bapak saya jadi harum menusuk sampai berhari-hari setelah mengantar jenazah seseorang. Pernah juga mobilnya bergerak maju mundur semalam sebelum mengantar jenazah ke Cibarusah. Tetapi kejadian Pak Waluyo ini lebih membuat saya heran,” cerita Ali.
-selesai-
Keterangan:
Peristiwa ini berlangsung tahun 2006 atau 2007. Saya mengubah beberapa alur dan detail peristiwa tanpa menghilangkan hal-hal yang berkaitan dengan inti kejahatan pelaku.
Pembunuhan disertai mutilasi kerap terjadi di wilayah Bekasi sejak dulu. Sebagian kasus tidak berhasil diungkap. Bahkan menjadi rahasia yang cukup banyak diketahui bahwa aparat kepolisian terkadang dibantu paranormal demi memecahkan kasus mutilasi.