Original thread by Rico Tude (@RicoTude)
CERITA DARI JOGJA
Tahun 2012 gue berkesempatan kuliah di Jogja. Alamat kampus gue di Babarsari. Krn itu gue ngekos di Babarsari biar dekat kampus. Babarsari mmg dikenal sbg “sarangnya anak timur”. Banyak mahasiswa asal timur (NTT, Maluku, Papua) yg tinggal di situ.
[A Thread]
Pertama kali datang di Jogja, gue langsung dikejutkan dgn peristiwa tawuran anak muda Alor (NTT) vs Sumba (NTT). Dari dalam kos gue intip banyak anak2 muda yg terlibat tawuran berlari mondar-mandir sambil tenteng parang, kayu, dan batu.
Ekspektasi gue tentang Jogja sebagai kota yg nyaman bagi mahasiswa jadi buyar saat itu juga.
Sejak saat itu tawuran antar kelompok asal timur jadi tontonan yg sering gue jumpai di area Babarsari. Ambon vs NTT, NTT vs Papua, Kei vs Papua, Kei vs Tobelo, dst.
Belangan gue baru tau, pertikaian antar kelompok asal timur ini sebetulnya ada punya hubungan dgn premanisme. Dan biasanya tawuran terjadi di tempat2 “basah” bagi preman, seperti ruko, diskotik, tempat karaoke, dll.
Kebetulan di Babarsari, Seturan, dan sekitarnya sedang menjamurnya bisnis ruko, diskotik, tempat karaoke, dll.
Suatu waktu, gue dengar desas-desus bahwa preman2 asal Maluku (Kei, Ambon, Tobelo) dan Papua bikin pertemuan untuk menyatukan kekuatan. Pertemuan tsb dilakukan untuk mengakhiri pertikaian anak muda Kei vs Papua pada 2018(?) yg lalu.
Mereka seperti bikin aliansi gitu. Sampai ada grup WA nya yg di dalamnya juga berada ribuan mahasiswa asal Maluku dan Papua. Gue pernah dimasukin ke grup tsb.
Mengapa preman asal NTT gak diajak aliansi? Karena lebih baik bagi preman asal Kei membangun hubungan baik dgn preman sesama Maluku lainnya dan Papua untuk melawan dominasi preman asal NTT.
Ya sebetulnya juga seiring dgn tersingkirnya kelompok John Kei dari Jakarta Pusat. Kelompok Hercules lah yg menguasai Tanah Abang.
Akhirnya anak buah John Kei mencari peruntungannya di Jogja. Tentu dgn “perkenalan” terlebih dahulu untuk memberi pesan eksistensinya ke kelompok lain “hey gue berkuasa di sini”.
Masalahnya “perkenalan” mereka dgn cara tawuran, bacok, dsb. Sudah jadi rahasia umum pula bahwa para preman ini sebenarnya di-backup oleh oknum2 yg punya pengaruh.
Suatu saat (Agustus 2019) gue pernah diancam oleh para preman ini, seperti bang Kece (asal Kei) dan bang John Biak (Papua). Ancaman itu dititipkan lewat teman2 gue. Mereka kasih tau ke teman2 gue “bilang ke rico, dia hati2 saja, jang talabe (jangan berlebihan)”.
Ya gue paham sih ancaman tersebut dikarenakan aktivitas gue sebagai aktivis selama ini. Saat itu (Agustus 2019) memang lagi momentum aksi rasisme Papua. Gue menduga sepertinya mereka sengaja dikirim untuk memoderasi gerakan aksi rasisme yg bakal kami selenggarakan.
Kalo mereka mau habisi gue, gak perlu nunggu lama mungkin gue udah lewat. Gampang banget bagi mereka untuk cari tau kosan gue, di mana gue tinggal. Tapi selama itu pula (syukurlah) tangan mereka gak pernah menyentuh gue.
Gue mikirnya gini, selama gue gak ganggu kerjaan dan bisnis lo (para preman), maka lo gak ada alasan buat kekerasan sama gue. Kecuali kalo gue memang ganggu tempat cari makan mereka, nah itu lain lagi ceritanya. Pasti wassalam lah gue.
Dan kejadian tawuran, bacok, dsb di Babarsari baru2 ini (meski ada korban salah sasaran) sebetulnya pemicu awalnya dari eksistensi perebutan/mempertahankan lahan basah, krn ada tempat makan mereka (para preman) yg diganggu.
Dari sini gue dapat melihat latarbelakang yg cukup punya dorongan besar bahwa orang terpaksa memilih profesi jadi preman ialah krn faktor ekonomi.
Negara kita punya pengalaman buruk dlm mengatasi premanisme di Indonesia. Kita tak lupa peristiwa Petrus yg memakan banyak korban tak bersalah. Memang berhasil menekan aktivitas kriminal para preman, tapi sebetulnya kebijakan tsb tak menyembuhkan penyakit sebenarnya.
Pemerintah harus belajar dari kesalahannya. Karena dari setiap kebijakan yg dibuat punya konsekuensi langsung pada kehidupan (sosial, budaya, politik, ekonomi) banyak orang, termasuk kehidupan para preman yg bingung mau kasih makan keluarganya bagaimana.
(NOTE)
Yang terjadi adalah pertikaian antar kelompok geng preman. Hanya saja para preman ini menggunakan identitas asal utk memperkuat eksistensi dan pengaruhnya. Akibatnya banyak mahasiswa asal timur yg tidak tahu-menahu juga ikut jadi korban, hingga mendapat stigma negatif.
Salah satu contoh korban stigma negatif yg terlanjur dilabelkan pada mahasiswa timur di perantauan
@RicoTude Asli bung, saya langsung merasakan stigma itu, tadi pagi ke pasar dilihatin banyak orang terus beberapa dari mereka bicara, dalam bahasa Jawa “iku tunggal e wong rusuh” padahal saya bukan di Jogja dan itu benar-benar kerasa sekali anjing Malunya.
— QRT https://twitter.com/marcellokribo/status/1544160034245865472?t=xqUa1H2UcLm5ooeKQyLJNQ&s=19