Original thread by M. Ridha Intifadha (@RidhaIntifadha)
Setelah membaca artikel aslinya, saya mendapati selain mengganti istilah, solusi yang ditawarkan adalah jam belajar. Saya pribadi berpikir itu semua tdk menyelesaikan akar masalah Klitih
Padahal… kami di Kriminologi punya banyak cara utk mencegah kejahatan jalanan lho
UTAS
Sebenarnya fenomena Klitih ini sudah dijelaskan dengan baik oleh @NarasiNewsroom lewat video youtube berikut.
Nah. Dari video tersebut, saya mencoba membahas Klitih dari beberapa konsep di kriminologi
– gang
– regenerasi
Di kriminologi, kami mencoba membedah apa sih yang membedakan gang dengan kelompok lainnya.
Kriminolog, Walter B. Miller kemudian membaca pola dari gang dan menemukan 6 karakteristik utamanya
Apa saja keenam ciri/karakter dari gang tersebut?
1. Terorganisir
2. Memiliki pemimpin yg dapat diidentifikasi / ciri tertentu.
3. Teritori / pembagian wilayah (area)
4. Pergaulan / hubungan intens antar anggota
5. Memiliki tujuan
6. Punya aktivitas ilegal
Nah, fenomena Klitih bisa diputus jika berhasil mengidentifikasi itu semua.
1. Hancurkan struktur organisasinya. Pemimpin/ketua gang-nya yg harus diadili. Lalu putus mata rantai regenerasinya dg menangkap pula calon penggantinya.
Telusuri dari anggota yg sdh tertangkap lbh dulu
2. Pelajari pola agar seorang anggota baru bisa masuk, diterima, dan akhirnya mendapatkan status dlm struktur gang.
Apakah cara menduduki “jabatan”-nya melalui pembuktian di kekerasan? Jangan-jangan ketika sdh ditangkap polisi (residivis) justru makin menguatkan status dlm gang




3. Saat polisi bilang klitih bisa jadi sebenarnya konflik antar gang, seharusnya bisa ditelusuri latar belakang pembagian teritorinya.
Apakah krn satu domisili/tempat tinggal? Satu sekolah? Satu tempat tongkrongan/basecamp? Atau apa?




4. Klitih memiliki pola aksi yang dilakukan pada malam hari atau menjelang subuh. Nah, sebenarnya bisa juga dipelajari pola hubungan yg terjadi sebelum kejahatan terjadi.
Di hari apa. Ada momen apa. Di titik daerah mana. Dsb.
5. Setiap gang sejatinya dibentuk krn punya tujuan. Saya khawatir tujuan itu bergeser dibandingkan awal dibentuk.
Misal: tujuan awal adalah konflik antar gang berbasis sekolah, skrng mjd ajang eksistensi.
Bahkan bisa jadi aksi klitih sekadar utk menguatkan ikatan antar anggota
6. Perbuatan ilegal (melanggar hukum) menjadi ciri terakhir yg ditemukan Miller.
Bagaimana memutusnya? Buat sistem penggentarjeraan.
Tegakkan hukum bukan sekadar berat/ringan, tetapi juga soal konsistensi dan kecepatan antara kejadian dg keputusan peradilan pidananya.
Lanjut ke konsep kedua soal regenerasi.
Saya akan coba menarik ini secara esensial melalui teori differential associations yg disampaikan oleh kriminolog Edwin H. Sutherland.
Sutherland menyebut perilaku kriminal itu dipelajari di lingkungan sosial.
Dalam teori ini, Sutherland membuat 9 proposisi yang menjadi dasar teorinya.
Intinya:
– kejahatan itu dipelajari lewat komunikasi di dlm suatu grup yg intim (dekat scr sosial)
– kejahatan yg dipelajari dari kelompok termasuk teknik, motif, rasionalisasi, sikap

Yg menarik dari teori ini juga adalah
– seseorang akhirnya melakukan pelanggaran hukum krn memandang hal tsb lebih menguntungkan dibandingkan tidak melanggar hukum
– asosiasi yg berbeda bisa sangat bervariasi tergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, intensitas
Dalam konteks regenerasi Klitih, saya memandang teori differential association bisa cocok utk menjelaskannya.
Dalam video narasi dijelaskan bahwa regenerasi ini berpola. Bahkan mereka yg berhenti juga berpola karena ada fokus berbeda.




Lalu bagaimana mencegah Klitih ini? Apakah cukup dengan mengganti istilah? Tentu tidak.
Kriminologi hampir selalu membicarakan pola. Bila polanya sudah diidentifikasi, mudah menyusun sistem pencegahan hingga penghukuman untuk penggentarjeraannya
Salah satunya ada 16 teknik untuk mengurangi peluang terjadinya kejahatan (seperti gambar di bawah)
Bisa juga pakai pendekatan pencegahan kejahatan berbasis komunitas maupun sosial (intervensi lewat aturan/kebijakan).

Misal. Pelaku Klitih bukan sekadar mendapatkan hukuman pidana penjara (pengasingan), tapi bisa juga kerja sosial ataupun sanksi yg bisa berpengaruh secara akademis/masa depannya.
Bisa juga penerapan reward bagi mereka yg bersedia membantu mengungkap struktur kelompok klitih.
Saya meyakini butuh kajian mendalam soal fenomena ini agar ditemukan solusi paling tepat atasnya.
Dalam artikel ini misalnya, solusi yg ditawarkan pakai teori Social Bond melalui attachment, commitment, involvement, belief
Akhirul Kalam
Wallahu A’lam
https://www.uii.ac.id/kriminolog-uii-ungkap-solusi-komprehensif-atasi-klitih/
Ah ya. Saya lupa menyampaikan ini di twit.
Saya sebenarnya akan sangat mengapresiasi jika pemda dan kepolisian mau berkolaborasi juga bersama mereka yg benar2 bersentuhan langsung dg Klitih ini.
1. Sekolah (komite, guru, orang tua)
2. UPT Pemasyarakatan (Lapas, Rutan, Bapas)
Misal, Pemkot Jaksel pada tahun ini berkolaborasi dg Polres dan Bapas untuk antisipasi tawuran pelajar.
Sosialisasi ke sekolah-sekolah. Bapas berperan menjelaskan soal ABH (Anak Berhadapan dg Hukum)
Pemkot juga menghadirkan Dishub utk berkolaborasi dari sisi kendaraan bermotor.




Di sisi lain, sekolah juga dilibatkan untuk didengarkan suaranya.
Misal: “Bagaimana kelanjutan pendidikan bagi mereka yg harus menjalani persidangan, meskipun nantinya keputusan pengadilan ternyata tidak dipenjara?”
Pembahasan detail teknis gini memang harus berkolaborasi.


Beda daerah, bisa jadi ada perbedaan pola.
Misal di Jakarta, Saya menemukan ada kasus ketika tawuran itu disiarkan scr langsung (live) melalui medsos.
Tujuannya apa? Ternyata ada judi di sana. Para penonton siaran live itu ya… anggota/kelompok gang selain mereka yg tawuran.
Berlaku juga untuk daerah Jabodetabek dan sebagian wilayah Jawa Barat https://twitter.com/RidhaIntifadha/status/1511697459420237833
— https://twitter.com/bagussmuhammad/status/1511706754203103234Nah ini.
Saya khawatir polanya merambah ke dunia digital.
Ada pengakuan bkn sekadar teritori, rivalitas, senioritas, dsb. Tp juga soal eksistensi di medsos.
Saya pernah wawancara pelaku tawuran di Jkt, dia mengaku suka nonton video ttg Katak Bhizer
@RidhaIntifadha Kalau di jabodetabek mereka kaya ada fansnya gitu, followers instagram puluhan ribu bahkan bisa jual merchandise pula.
— https://twitter.com/bagussmuhammad/status/1511714743228141572Bagi yang penasaran: “Di kriminologi, emang belajar apa aja sih?” Nah, Dosen kami, mas @iqraks menjabarkannya secara detail melalui utas berikut.
Saya pribadi mengambil peminatan di Penegakan Hukum (Law Enforcement). ?
Ok, sekarang saya jelaskan, kriminologi di UI itu belajar apa saja dan bagaimana prospeknya
— https://twitter.com/iqraks/status/1283254231323963393Di akhir utas, saya sempat menyebut teori ikatan sosial (social bond).
Kriminolog, Travis Hirschi menyebut ada 4 dimensi knp ada org tdk melakukan penyimpangan:
– attachment (kasih sayang)
– commitment (komitmen)
– involvement (keterlibatan)
– belief (kepercayaan)
Attachment itu ikatan kasih sayang ke keluarga misalnya. Commitment itu ikatan ke organisasi/aturan. Involvement itu ikatan kegiatan yg bermanfaat. Belief itu nilai-nilai keyakinan
Jadi Hirschi menyebut kl keempat ikatan positif itu kuat, org cenderung tdk melakukan penyimpangan
Benar.
Ketika anak melakukan kejahatan, aparat penegak hukum berpedoman pada UU 11/2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada pasal 71, ada disebutkan 5 jenis pidana pokok yg dapat diberikan kpd anak, mulai dari sekadar ‘peringatan’ sampai ‘penjara’.
@syafiqsfauzan @txtdariadinda @RidhaIntifadha Sepertinya enggak juga sih, mas. Setauku Juvenile Crime kalo udah termasuk serious felonies (e.g. pembunuhan) tetep diadili sebagaimana mestinya. Kan ada Juvenile Court juga. Contoh kasus yg terkenal kayaknya kasus Alyssa Bustamante yang kena seumur hidup. CMIIW.
— https://twitter.com/reonalphabuild/status/1511814921960701954

Sebenarnya dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, potensi kolaborasi itu sangat terbuka luas.
Dalam kasus peretasan situs Setkab yg pelakunya Anak, Bapas Jaksel mengupayakan diversi dg seluruh stakeholders agar anak tsb tdk perlu menjalani pidana penjara.
@RidhaIntifadha Random thoughts. Kalo utk terorisme ada detasemen khusus antiteror 88, mungkin untuk kenakalan remaja juga perlu ada tim nasional terstruktur lintas lembaga (tentara, psikolog, kriminolog dsb) justru yg menghalangi mereka masuk penjara dan ngasih validasi dgn cara berbeda
— https://twitter.com/rumraisinfrappe/status/1511761041235267584



Benar sekali.
Miller melakukan penelitian dengan metode survei kepada (setidaknya) 160 institusi peradilan pidana dan lembaga pelayanan berbasis pemuda.
Upaya itulah yg akhirnya menghasilkan 6 karakteristik utama dari kelompok Geng.
Threadnya baguss!! Nambah ilmu juga Heran masih banyak yg reply dari pendapat pribadi, padahal kan ini tuh berdasarkan teorj yg emg udah melalui berbagai macam penelitian & observasi, malah ditentang dengan pendapat sendiri hedehh https://twitter.com/RidhaIntifadha/status/1511697459420237833
— https://twitter.com/tirekkecil/status/1511830313512493056Utas ini sangat dibatasi oleh informasi/data yang saya dapatkan, teori/konsep yg digunakan, serta daya analisis saya pribadi.
Karena itu, saya menyebut di akhir utas bahwa kajian komprehensif dibutuhkan utk menganalisis konteks fenomena saat ini sekaligus solusinya.
@RidhaIntifadha Sudah tahu bedanya pelaku klitih jaman dulu dan sekarang bang? Kalau dulu terorganisir, tapi kalau sekarang bergerak mandiri/kelompok kecil. Dulu ada kepalanya, sekarang tidak/banyak.
— https://twitter.com/cintabersih/status/1511838755916681216Wakakakaka ?
Pembahasan komprehensif soal klitih ini mungkin bukan hanya pakai tekrimod dan posmo*, tapi juga bisa ditambah filkrim**, kenak***, atau binal****.
*teori kriminologi modern dan posmodern
**filsafat kriminologi
***kenakalan anak
****kebijakan kriminal
Jiaaaaa, reply nya pada pake pendapat pribadi. Anak krim aja gapernah sotoy soal konstruksi tulang dan beton, biologi molekuler dsb. Kasian anak krim, tekrimod dan posmo tidak semudah nonton Netflix series https://twitter.com/RidhaIntifadha/status/1511697459420237833
— https://twitter.com/flankerfanboy/status/1511874826218401795sulit mengidentifikasi niat/tujuan sih.
tapi sebenarnya bisa melakukan intervensi pencegahan scr kriminologis: mulai dari pencahayaan, pembatasan/penutupan akses jalan, patroli berkala, CCTV, akses layanan pengawalan, tombol/panggilan SOS 24 jam, dsb
@RidhaIntifadha @HaloRicodisini Apakah sulit mendeteksi Orang yang nongkrong nongkrong untuk melakukan kejahatan?
— https://twitter.com/1nohon9/status/1511900188130312192Terima kasih tambahannya @AliasBRX
Routine Activities Theory memang sangat mudah utk membedah kejahatan semacam ini
Jadi… terdapat 3 faktor agar kejahatan “tercipta”
– niat/motivasi/motif pelaku
– kesempatan/korban yg rentan
– ketiadaan pelindung/pencegahan



Sejujurnya saya pribadi justru makin banyak belajar dari balasan, quote tweet, maupun diskusi dari utas ini
Yang saya kaget adalah balasan berikut.
“Selain menyiarkan secara langsung, tawuran di daerah Jabodetabek ini juga ternyata punya nilai ekonomis”
Every day I learn something new on Twitter. Baru tau ada yang ikutan “judi tawuran”. https://twitter.com/RidhaIntifadha/status/1511712511045009414
— https://twitter.com/csi_wulan/status/1511976404728299529
Terima kasih apresiasinya pak ??
Saya meyakini permasalahan di tengah masyarakat, khususnya kejahatan, tidak hanya menjadi beban 1-2 pihak.
Semua stakeholders harus berkolaborasi bersama agar dapat merumuskan dan melaksanakan ‘resep’ yg pas agar masalah itu selesai
@RidhaIntifadha @denayaaaaz Apresiasi untuk Mas Ridha yang sudah mengulas dari sisi keilmuan kriminologi. Memang penggabungan ilmu dan praktik ini yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan. ?
— https://twitter.com/prabu_abimanyu/status/1511744797098508289Diskusi sama sahabat yang memberikan sumber referensi dari @korantempo Edisi 9 Januari 2022
Menarik ternyata data ini.
1. Ada tren peningkatan Klitih dalam tiga tahun terakhir
2. Penyebab/Latar belakang ternyata berkaitan dg faktor struktural


Senang sekali membaca twit ini.
Utk kejahatan yg sudah membudaya, penyelesaiannya memang tidak singkat dan bukan sesuatu yang kecil.
Mungkin di tengah jalan, banyak “trial and error” utk menemukan formula yg pas utk mengentaskannya. Tapi insyaAllah usaha tak khianati hasil.
Bab ini saya sebagai orangtua sudah terlibat, sejak menjadi Komite sekolah SDN di Kebayoran Baru. Forum Komite Sekolah serta orangtua sudah aktif dalam cegah tawuran. Secara tradisi wilayah kami legenda sekolah2 tawuran. Hampir 20 tahun ini tidak lagi terdengar tawuran. https://twitter.com/RidhaIntifadha/status/1511710921269604357
— https://twitter.com/iwanalidarmawan/status/1512199264885444616